BTNGC: Kita Itu Hanya Kopral
\\KUNINGAN – Dalam menyikapi polemik yang berkembang terkait TNGC (Taman Nasional Gunung Ciremai), Kepala BTNGC (Balai Taman Nasional Gunung Ciremai), Ir Padmo Wiyoso akhirnya angkat bicara. Namun, arah pembicaraannya tidak menjurus pada wilayah kebijakan lantaran kapasitas BTNGC menurutnya hanya sekadar operator. “Kita itu hanya kopral, hanya operator. Yang punya kewenangannya ya di Jakarta. Silahkan kalau mau kontrak atau seperti apa, ke Jakarta. Kalau kita sih ikut saja. Acuan kita kan regulasi. Jika nanti TN (taman nasional) ini akan diubah, ya kita pasti ikut,” ujar Padmo saat ditemui Radar di ruang kerjanya, kemarin (10/6). Kendati demikian, Padmo yang saat itu didampingi Kasatpolhut BTNGC, Mufrizal SH MH memberikan penjelasan sedikit terkait zonasi tradisional seperti yang diusulkan akademisi. Zona tradisional yang dimaksudkan itu ketika masyarakat menggantungkan hidupnya dari hutan. Dia mencontohkan masyarakat Papua. “Namanya peramu. Masyarakat menangkap ikan, mengambil ubi, buah-buahan dan lainnya untuk hidup. Kalau dipindahkan dari tempat itu bisa meninggal. Tapi menangkap ikan, ubi, buah-buahan tersebut bukan untuk didagangkan, itu yang dimaksud zona tradisional,” jelasnya. Menurut Padmo, TN tidak merugikan rakyat. Jangankan di hutan, sekarang ini di lahan pribadi pun dianjurkan untuk hijau. Penghijauan tersebut bertujuan untuk mengantisipasi perubahan iklim yang anomali. Di Indonesia, saat ini sudah terdapat 51 TN yang hendak disusul oleh satu TN baru. “Tapi, seperti yang tadi saya bilang, kalau regulasinya berubah, ya kita selaku operator pasti ikut,” tandasnya. Dalam menanggapi turunnya babi dan monyet ke pemukiman atau lahan pertanian masyarakat, Padmo menyebutkan istilah hewan yang terhabitasi atau terdomestifikasi. Turunnya babi dan monyet tidak hanya terjadi sekarang saja, melainkan sejak dulu. Sehingga menurut dia, sejarah masa lampau perlu dilihat. “Bukan karena ekosistem rusak, tapi ada historinya. Babi dan monyet yang terbiasa makan makanan non-hutan, ya mereka sudah terhabitasi. Ibaratnya burung di sangkar, oleh kita diajari makan makanan yang tidak biasa, kalau dilepas ke hutan ya pasti mati,” kata Padmo. Sejauh ini pihaknya sudah mencoba dekat dengan masyarakat lereng gunung. Untuk masuk ke kawasan TNGC bagi masyarakat, menurut dia, tidak ada pelarangan melainkan bisa menghasilkan kemanfaatan. Hanya saja, kemanfaatan tersebut harus sesuai dengan fungsinya. Mengacu pada regulasi sekarang, kemanfaatan itu bisa berupa riset, edukasi ataupun jasa lingkungan. “Mengenal pohon, mengenal binatang, ya bisa lah. Sesuai dengan fungsi TN,” terangnya. Mengarah pada fungsi riset, edukasi atau jasa lingkungan, sejak Padmo menjabat kepala BTNGC telah melakukan pendampingan kemanfaatan untuk masyarakat. Di SMPN 3 Darma misalnya, sekolah tersebut telah mendeklarasikan sebagai sekolah konservasi. Bahkan kepala Disdikpora ikut terlibat di dalamnya. “Ya bagus, kita fasilitasi anak-anak. Kalau di buku diterangkan pohon atau binatang seperti ini, kita lihat di hutannya seperti apa. Harapan kita siswa SMP 3 Darma ini bisa jadi pemandu ketika ada sekolah dari Jakarta, dari Bandung atau dari luar negeri sekalipun akan mengunjungi TN,” ungkapnya. Dia mengharapkan pula, ke depan siswa-siswi SMP tersebut bisa menjadi tutor dalam melatih siswa sekolah lain. Menurut Padmo, ke depan bisa berkembang. Apabila ada sekolah dari luar Kuningan hendak ke TN maka bisa mendatangi SMPN 3 Darma. “Itulah yang kami lakukan, agar masyarakat mampu jadi tuan rumah. Apalagi nanti bandara akan dibuka, tol juga. Kemudian 1 Januari 2016 kan MEA mulai berjalan. Masyarakat lereng Ciremai nanti bisa jadi tuan rumah, tidak hanya jadi penonton. Apakah itu dari makanan minumannya, transportasinya dan lain-lainnya sesuai fungsi TN dapat memberikan kemanfaatan. Tugas BTNGC jaga kelestarian saja,” paparnya. Dari sisi budaya pun, kesenian kecapi bisa dibawa sebagai wujud pelestarian. Sebagai penembang dari kecapi itu adalah alam. Menurut Padmo, suara burung, gemercik air bisa jadi penembang. Kesunyian alam pun, imbuhnya, dapat jadi penembang. Jangan sampai kesenian tradisional tergerus jaman semisal organ dan kesenian modern lain. “Kecapi ini kemarin sudah di exercise, nanti diformat untuk dijalankan. Intinya TN tidak menghancurkan budaya bangsa. Begitu juga di Sagarahiang sudah konsul dengan provinsi untuk dijadikan perkampungan tempo dulu di salah satu dusunnya,” kata Padmo. Dalam kemanfaatan tersebut, tambahnya, BTNGC hanya berposisi menemani. Masyarakat sendiri yang memiliki ruang kemanfaatan di TN. Namun bukan dalam ruang yang berbeda dengan fungsinya. Dia mencontohkan kembali dalam pengelolaan pendakian gunung di Palutungan, masyarakat yang memiliki kemanfaatan tersebut. “Banyak ruang kemanfaatan yang tidak mesti begitu-begitu saja. Dulu dan sekarang bisa berbeda, tapi tidak merubah nilai. Tapi memang segala sesuatunya tak semudah membalikkan tangan, melainkan perlu proses. Sebentar lagi Bandara masuk, tol dibuka, MEA dimulai, ya kita harus memihak pada rakyat, membantu mereka supaya jadi tuan rumah, tidak tergeser nilainya,” beber Padmo. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: