90 Anak Putus Sekolah
KUNINGAN - Angka anak putus sekolah di Kabupaten Kuningan belum pupus. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kuningan membuktikan ada 90 anak memilih putus sekolah demi bekerja membantu ekonomi orang tua. “Sebenarnya, tim menjaring 140 lebih anak putus sekolah dan memilih bekerja membantu orang tuanya. Tapi untuk program Pengurangan Pekerja Anak (PPA), kami hanya merekrut 90 anak saja. Jumlah 90 anak disesuaikan dengan anggaran,” terang Kepala Dinsosnaker Kuningan, Drs H Dadang Supardan MPd didampingi Kabid Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja (PPTK), Gunarto MSi di kantornya, Selasa (23/6). Program PPA sudah digulirkan sejak 8 Juni hingga 5 Juli 2015 ke depan. PPA sendiri sudah berjalan selama empat tahun. Mulanya, dia membentuk tim pendamping dari sarjana sebanyak sembilan orang. Usai dibentuk, mereka terlebih dulu dilatih selama empat hari di provinsi. Kemudian langsung bertugas di shelter yang dipusatkan di Gedung Yayasan Taruna Mandiri. Tugas awal tim pendamping adalah turun ke beberapa desa untuk mencari anak-anak di bawah umur yang seharusnya sekolah, tapi malah bekerja. Pencarian berkoordinasi dengan kepala desa. Hingga terkumpul lah 140 anak yang memilih putus sekolah untuk bekerja membantu orang tuanya. Tapi karena anggaran terbatas, tim hanya merekrut 90 anak saja. “Ke-90 anak itu terbukti putus sekolah, dan memilih bekerja,” aku Dadang, dengan nada prihatin. Atas seizin orang tuanya masing-masing, ke-90 anak tersebut kemudian dibawa ke shelter untuk pembinaan dari para tutor atau tim pendamping. Setiap 10 anak ditangani satu pendamping. Selama seminggu pertama, mereka diberi pengenalan. Kemudian motivasi, peningkatan mental, hingga keterampilan. Pembinaan melibatkan Disdikpora, Kementerian Agama, Dinas Kesehatan, LSM Satu Hati Peduli Anak, pengusaha dan kepolisian. “Anak-anak tersebut kita bina melalui program PPA dengan sasaran akhir mau kembali ke sekolah,” tandas mantan kadisdikpora Kuningan ini. Ke-90 anak dalam program PPA berusia 13 hingga 17 tahun. Kondisinya telah bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dimana anak di bawah umur tidak boleh bekerja. Ini pun bertentangan dengan Konferensi Internasional Labour Organisation (ILO) Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak. “Kita tidak mengecilkan peran Disikpora. Tapi realitas membuktikan, di Kabupaten Kuningan masih ada anak-anak putus sekolah,” katanya. Dinsosnaker sendiri hingga 2015 sudah membina sedikitnya 560 anak putus sekolah sejak tahun 2009. (tat)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: