Sekolah Diduga Abaikan Larangan Pungutan
KUNINGAN – Imbauan Sekretaris Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora), Dedi Supardi MPd soal larangan pungutan pada PSB (penerimaan siswa baru), disinyalir diabaikan. Ini ditandai dengan munculnya pengakuan dari sejumlah orang tua siswa yang mengaku ada pematokan sumbangan sekolah. Direktur Merah Putih Institut, Boy Sandi Kartanegara mengaku tertarik oleh pernyataan Dedi di media massa tempo hari. Bahkan pihaknya mengeluarkan apresiasi atas larangan tersebut. Hanya saja, imbauan seperti itu disinyalir diabaikan pada tataran teknis penyelenggaraan PSB. “Masih ada selentingan-selentingan yang beredar tentang adanya pungutan atau permainan yang melibatkan unsur uang, khususnya bagi sekolah-sekolah favorit,” ujar pria berambut gondrong dan ikal itu, kemarin (3/7). Sebetulnya, kata dia, untuk meminimalisasi hal-hal seperti ini tidak cukup dengan sekadar larangan. Namun pembenahan sistem penerimaan yang transfaran lah yang harus dilakukan. Dengan dibukanya PSB jalur prestasi bagi sekolah-sekolah favorit, diakuinya, itu merupakan terobosan, baik sebagai langkah untuk menjaring calon siswa yang punya keunggulan secara khusus. “Idealnya, yang jadi parameter penilaian bagi calon siswa, yang harus dilihat adalah prestasi akademis dulu sebagai jerih payah siswa yang telah bertahun-tahun lamanya belajar. Jangan malah yang dijadikan patokan adalah prestasi non-akademik,” sarannya. Sebab, patokan prestasi non-akademik diduga akan memacu orang tua untuk “belanja” sertifikat agar si anak terlihat punya prestasi. Kalau pola seperti ini terus dipertahankan, pihaknya yakin aroma uang akan terus tercium dalam setiap PSB. “Dan kita akan terus melahirkan generas-generasi yang kurang punya mental untuk bertarung mengikuti zaman,” tandasnya. Kalaupun panitia PSB ingin mengharapkan sumbangan sukarela, lanjut Boy, idealnya para orang tua juga diberi tahu untuk apa dana itu dihimpun. “Untuk pagarkah? Untuk WC-kah? Untuk lab-kah? Harus ada pemaparan detil yang dipampangkan di papan pengumuman tentang rencana dimaksud,” kata dia. Ditambahkan, sekolah adalah tempat kedua setelah rumah sebagai ruang bagi anak belajar tentang nilai-nilai moral dan kejujuran. Ironis menurut dia, apabila tempat kedua itu dipaksakan bagi siswa untuk bermoral sementara sistem yang diberlakukan lembaga pendidikannya masih tanda kutip. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: