Eranya Para Sheikh

Eranya Para Sheikh

\"\"PARIS - Tren konglomerat Asia, terutama Timur Tengah merambah sepak bola Eropa terus berlanjut. Mereka datang membawa ambisi besar dan dana banyak. Drama selama bursa transfer selalu melibatkan konglomerat Timur Tengah di belakangnya. Lihat saja pada bursa transfer awal musim ini, dua besar tim terboros selama bursa transfer dibuka adalah Manchester City dan Paris Saint-Germain (PSG). Di belakang City ada Sheikh Mansour dan di belakang PSG ada Qatar Investment Authority. Ya, pada awal musim ini City menjadi yang terboros dengan menghabiskan sekitar 94,5 juta euro atau setara Rp1,11 triliun. Mereka membeli pemain seperti Sergio Aguero dan Samir Nasri. PSG menghabiskan 89 juta euro atau setara Rp1,04 triliun. Pada bursa transfer tengah musim yang akan dibuka tiga hari lagi, tim kaya baru seperti City dan PSG kembali diyakini akan membuat gebrakan di bursa transfer. City masih adem ayem, tapi PSG sudah menunjukkan gelagat akan gila-gilaan. Berbeda dengan invasi investor Amerika Serikat yang pernah melanda Premier League, seperti Malcolm Glazer di Manchester United mulai 2005, George Gillett dan Tom Hicks di Liverpool mulai 2007, sebelum diambil alih John W. Henry pada 2010 lalu. Bila para investor Amerika sibuk mencari keuntungan, maka para Sheikh dari Timur Tengah berbeda. Mereka hanya mencari kejayaan dan bukan mencari keuntungan bisnis. Makanya, mereka gila-gilaan dalam menggelontorkan uangnya. “Saya pikir Sheikh Mansour hanya ingin sebuah mainan ketika dia membeli Manchester City,” bilang Aurelio De Laurentiis, presiden Napoli seperti dilansir Football Italia. Tren pembelian klub oleh pemilik asing baru berlangsung dalam dua dekade terakhir. Di Inggris, para investor asing menyerbu setelah Liga Inggris tampil dengan kemasan Premier League pada 1993. Sejak itu, satu persatu klub Inggris jadi incaran. Mulai dari pengusaha asal Skandinavia, Eropa Timur, Amerika, hingga belakang Asia, terutama Timur Tengah, menggebrak. “Para investor dari Asia sekarang berebut terlibat. Benar-benar terjadi lonjakan deal yang besar,” kata Raj Athwal, Head of Corporate klub kasta kedua Watford, seperti dikutip Daily Mail. Mohamed Al Fayed dianggap sebagai pionir pebisnis non-Eropa yang merambah Inggris. Dia kelahiran Mesir dan membeli Fulham pada 1997. Ternyata, konglomerat Asia, yakni Sam Hamman, asal Lebanon, sudah lebih dulu pada 1977 dengan menjadi presiden Wimbledon FC. Kalau saja beberapa deal tercapai pada awal musim lalu, sepak bola Eropa benar-benar diramaikan konglomerat Asia. Saat itu, pengusahan India Mukesh Ambani ingin membeli Liverpool dan adiknya Anil Ambani ingin mengakuisisi Newcastle United. Tapi, gagal. Inggris memang menjadi tujuan utama, tapi liga lainnya juga menjadi bidikan. Di Liga Primera, konglomerat asal Qatar Sheikh Abdullah Al Thani mengakuisisi Malaga dan kemudian Royal Emirates Grup mengambil alih Getafe. Bahkan, pada awal musim lalu, Malaga telah menunjukkan diri sebagai klub kaya baru dengan mengeluarkan 52 juta euro atau setara Rp613 miliar untuk membeli pemain bintang seperti Jeremy Toulalan, Santi Cazorla, dan Martin Demichelis. (ham)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: