Jaksa Tetap Ngotot Abaikan Putusan MK

Jaksa Tetap Ngotot Abaikan Putusan MK

JAKARTA- Praperadilan Dahlan Iskan kemarin (29/7) memasuki agenda pembacaan duplik atau jawaban atas replik tergugat. Dalam dupliknya, jaksa masih ngotot mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menjadikan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Duplik jaksa juga tak banyak menguraikan jawaban atas keberatan penggugat. Karena itu, duplik setebal tujuh hala­man tersebut terkesan tak berbe­da dengan materi jawa­ban jaksa atas gugatan Dahlan yang dibacakan Senin (27/7). Jaksa Bonaparte Marbun masih ngotot menyebutkan bahwa penetapan tersangka bukan objek praperadilan. Menurut dia, putusan tersebut melebihi kewenangan MK. “Karena itu, hakim tidak terikat terhadap putusan tersebut,” ujar Marbun. Dalih selama ini bahwa putusan MK setingkat dengan undang-undang (UU), menurut jaksa, juga tidak benar. Perbedaan pandangan antara kuasa hukum Dahlan dan jaksa juga terlihat dalam perhitungan kerugian negara. Selama ini pihak Dahlan mempermasalahkan belum adanya perhitungan kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kuasa hukum Dahlan, Yusril Ihza Mahendra, menilai jaksa mengabaikan pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dan Fatwa Mahkamah Agung Nomor 068/KMA/HK. 01/VII/2012. Dua aturan itu intinya menyebut BPK yang berwenang menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara. Terkait hal tersebut, jaksa Martha P. Berliana mengatakan bahwa pihaknya sudah mengantongi hasil perhitungan kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Namun, hasil perhitungan kerugian negara itu hanya didapatkan untuk penger­jaan empat proyek pembangu­nan gardu induk, yakni Jatira­ngon 1, Jatiluhur Baru, Kadi­paten, dan New Sanur. Padahal, yang dipermasalahkan kejaksaan terhadap Dahlan adalah proyek pembangunan 21 gardu induk. Menanggapi jalannya sidang, Yusril menyatakan, sangkaan-sangkaan jaksa dalam duplik tak berbeda dengan materi jawaban yang disampaikan atas gugatan kliennya. Mengenai putusan MK yang tetap diabaikan jaksa, Yusril punya contoh bagaimana inkonsistensinya kejaksaan. Yusril bercerita, dirinya pernah mengajukan uji materi terhadap pasal 197 KUHAP. Pasal itu menyebutkan, jika putusan pengadilan tidak mencantumkan perintah agar terdakwa ditahan, putusannya batal demi hukum. Yusril kemudian mengajukan uji materi terhadap pasal tersebut. Hasilnya, MK menya­ta­kan, meskipun tak ada kata “perintah agar terdakwa ditahan”, putusan hakim tetap sah dan bisa ditindaklanjuti. Putusan MK kemudian ditindak­lanjuti kejaksaan. “Mereka mengeluar­kan surat edaran dan segera mengeksekusi sejumlah terpida­na yang sebelumnya bebas demi hukum. Itu namanya inkonsis­tensi kan?” ucap mantan menteri kehakiman dan HAM itu. Sebelumnya Ketua MK Arief Hida­­yat juga me­ngatakan, apa pun pe­­ni­laian da­ri masyarakat tidak bisa me­­ngubah putusan MK yang su­­dah dikeluarkan. Si­fat final dan me­ngikat tersebut ju­ga dilin­­­dungi pa­sal 24C UUD 1945. “Jadi, (putu­san MK) harus dilak­­sanakan,” ujar guru besar Univer­­sitas Diponegoro Semarang itu. Mantan Ketua MK Mahfud MD berpendapat serupa. Dia menganggap tak ada putusan MK yang melampaui kewenangan. Sebab, MK memang lembaga tertinggi dalam menilai konstitusional atau tidaknya isi UU. Kuasa hukum Dahlan kemarin juga menanggapi pernyataan jaksa tentang hasil audit kerugian negara BPKP untuk proyek gardu induk. Lawyer Dahlan ternyata memiliki bukti bahwa BPKP pusat pernah menyatakan belum mengeluarkan audit kerugian negara. Pernyataan BPKP itu diterbitkan Koran Tempo 8 Juni 2015 dengan judul “BPKP Bantah Klaim Kejaksaan”. Bukti pemberitaan tersebut kemarin ditunjukkan kepada hakim maupun jaksa. (gun/c9/kim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: