Ahli: Harus Ada Audit BPK untuk Penyidikan Korupsi

Ahli: Harus Ada Audit BPK untuk Penyidikan Korupsi

JAKARTA- Adu argumentasi hukum antara saksi ahli dan jaksa dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terjadi dalam sidang lanjutan praperadilan yang dimohonkan pihak Dahlan Iskan kemarin. Salah satu yang diperdebatkan adalah lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara. Ahli hukum yang dihadirkan kuasa hukum Dahlan berpandangan, lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Karena itu, jika tidak disertai bukti kerugian negara dari BPK, unsur korupsi dalam penyidikan belum terpenuhi. Salah seorang ahli hukum pidana yang menyatakan demikian adalah Muzakir. Dia menuturkan, penyidikan kasus korupsi harus dilengkapi audit investigasi yang pro-justitia yang hanya bisa dilakukan BPK. “Jadi, yang diperlukan adalah audit investigasi BPK secara menyeluruh. Bukan sekadar menghitung apa yang ditemukan penyidik,” jelasnya. Bukan hanya Muzakir, ahli hukum lain dihadirkan kuasa hukum Dahlan. Yakni, Made Darma Weda dan Chairul Huda. Keduanya menyatakan hal yang sama. Mereka menegaskan, satu-satunya lembaga negara yang berwenang menghitung kerugian negara adalah BPK. “Kalau sekadar menghitung, tiap orang mungkin bisa. Tapi, apakah dia punya kompetensi?” ujar Chairul. Mengenai kewenangan menghitung kerugian negara, jaksa berpedoman bahwa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berwenang melakukannya. Jaksa menggunakan dalil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 31/PUU-X/2012. Putusan itu merupakan penolakan MK terhadap judicial review mantan Dirut PLN Eddie Widiono Suwondho yang terjerat kasus korupsi yang diusut KPK. Dalam putusan itu, MK menyatakan, KPK tidak hanya bisa berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam membuktikan tindak pidana korupsi. Namun, lembaga antirasuah tersebut juga bisa berkoordinasi dengan instansi lain. Terkait dengan hal itu, Muzakir berpendapat, sampai saat ini UU BPKP tidak menyebutkan bahwa lembaga itu berwenang melakukan audit investigasi terhadap kerugian negara. Penggunaan putusan MK sebenarnya menunjukkan inkonsistensi jaksa. Sebab, sebelumnya jaksa mengabaikan putusan MK No 21/PUU-XII/2014 tentang penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Jaksa menilai putusan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena melampaui putusan MK. Sampai saat ini, kasus gardu induk yang disangkakan kepada Dahlan memang belum dileng­kapi bukti perhitungan kerugian negara dari BPK. Jaksa hanya mengklaim telah mendapat buk­ti kerugian negara dari BPKP. Itu pun untuk empat pro­yek pembangunan gardu induk. Padahal, yang disang­kakan kepada Dahlan adalah pemba­ngunan 21 gardu induk. Selain itu, kuasa hukum Dahlan punya bukti pemberitaan media bahwa BPKP pusat belum mengeluarkan audit kerugian negara. Pernyataan BPKP itu diterbitkan Koran Tempo edisi 8 Juni 2015 dengan judul BPKP Bantah Klaim Kejaksaan. Dalam berita itu disebutkan, Kepala BPKP Ardan Adiperdana belum menerima permintaan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk melakukan audit lanjutan terhadap kasus pembangunan gardu induk. Menanggapi sidang lanjutan praperadilan kemarin, Yusril Ihza Mahendra, pengacara Dahlan, menjelaskan, pihaknya ingin mendapat keterangan ahli mengenai alat bukti yang sesuai dengan putusan MK. “Dalam kasus ini, kejaksaan mene­tapkan Pak Dahlan sebagai tersangka lebih dulu, baru mencari alat buktinya,” ujarnya. Setelah mengikuti sidang, Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Ida Bagus Wismantanu menyampaikan, penyidikan terhadap Dahlan merupakan proses yang gambaran peristiwanya sudah didapatkan dari penyidikan tersangka sebelumnya. “Apa yang kami lakukan sudah sesuai KUHAP. Ting­gal menetapkan satu per satu tersangkanya melalui sprindik,” katanya. Menurut dia, bukti-bukti lain bakal dicari kemudian. Sidang praperadilan akan dilanjutkan hari ini (31/7) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari kejaksaan. (gun/c5/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: