Bersiap Menyempurnakan Rukun Islam

Bersiap Menyempurnakan Rukun Islam

(Sebagai Bekal Bagi Calon Jamaah Haji) Oleh: H Imam Nur Suharno     Musim haji akan kembali tiba. Jutaan kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia tengah bersiap menuju Tanah Suci untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima. ANIMO masyarakat untuk menyempurnakan rukun Islam ini sangat tinggi. Hal ini terlihat dari daftar tunggu pemberangkatan haji yang cukup panjang, jemaah calon haji (calhaj) menunggu hingga sepuluh tahun ke depan. Keislaman seseorang baru bisa dibilang sempurna jika telah melaksanakan seluruh rukun Islam. Yakni, syahadat, shalat, puasa Ramadan, zakat, dan ibadah haji. Namun, untuk melaksanakan ibadah haji, sejumlah syarat harus dipenuhi. Syarat yang paling mendasar adalah mampu–baik secara mental, fisik maupun finansial. Begitu pentingnya ibadah haji, sehingga ibadah ini hukumnya wajib (bagi yang telah mampu). Dan kewajiban menjalankan ajaran Nabi Ibrahim AS ini pun telah diserukan kepada seluruh umat manusia (QS Ali Imran [3]: 97). Haji adalah kewajiban sekali dalam seumur hidup bagi Muslim yang mampu melaksanakan perjalanan ke Baitullah. Haji bertujuan melatih jiwa manusia untuk semakin dekat dengan Sang Khaliq dan merasakan kesamaan derajat di hadapan-Nya. Namun demikian tidak sedikit orang yang berangkat haji berulangkali dengan tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini Rasulullah SAW telah mensinyalir, “Akan datang suatu masa yang dialami umat manusia yaitu: orang kaya dari umatku yang melaksanakan ibadah haji (niatnya) karena wisata, orang kalangan menengah (niatnya) karena berdagang, orang kalangan ahli pengetahuan (niatnya) karena ria dan sum’ah, dan kaum fakir di  antara mereka (niatnya) karena untuk meminta-minta.” (HR Ibnu Jauzy). Hadis di atas menyebutkan beberapa tujuan orang pergi haji ke Tanah Suci. Pertama, pergi haji untuk berwisata. Ibadah haji yang dilaksanakan tidak berpengaruh terhadap perbaikan pribadi, keluarga dan masyarakatnya, melainkan agar masyarakat menilainya sebagai orang yang kaya. Kedua, pergi haji untuk berdagang. Aktivitasnya selama di Tanah Suci lebih banyak pada aktivitas berdagang atau berbelanja daripada ibadah kepada Allah Swt. Terasa berat bila diajak ke masjid, tapi sangat mudah jika diajak untuk berbelanja. Ketiga, pergi haji karena ria dan sum’ah. Yaitu, mereka yang melaksanakan ibadah haji sekadar untuk mengejar status sosial kemasyarakatan, yakni gelar haji. Sehingga sepulangnya dari Tanah Suci ia minta dipanggil pak haji atau bu haji. Keempat, pergi haji untuk meminta-minta. Mereka adalah kaum fakir yang berangkat ke Tanah Suci untuk mengharap belas-kasihan, dengan harapan sekembalinya dari Tanah Suci ia dapat mengumpulkan harta yang cukup. Sehingga ia menjadikan aktifitas meminta-minta tersebut sebagai profesi tahunan baginya. Karena dengan alasan itu mereka akan memperoleh balasannya sesuai dengan apa yang diniatkan. Sabda Nabi SAW, ”Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”  (HR Bukhari dan Muslim).   HAJI MABRUR Sedangkan bagi yang berhajinya atas dasar keimanan dan keikhlasan semata karena Allah SWT, tidak berbuat rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh), tidak berbuat fusuq (pelanggaran terhadap ajaran agama Allah), dan tidak melakukan jidal (berbantah-bantahan) selama berhaji (QS Al-Baqarah [2]: 197), niscaya akan meraih haji mabrur yang balasannya tiada lain kecuali surga. Rasulullah SAW bersabda, “Hai semua manusia, Allah telah mewajibkan atasmu untuk haji, maka berhajilah kalian. Siapa yang berhaji karena Allah, lalu tidak berkata atau berbuat keji dan fasik, ia akan keluar dari semua dosa-dosanya bagaikan pada saat ia dilahirkan oleh ibunya. Dan, melakukan ibadah umrah hingga umrah tahun depan menjadi penebus dosa yang terjadi di antara kedua umrah itu. Sungguh, haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR Bukhari dan Muslim). Itulah balasan tertinggi yang dianugerahkan bagi jamaah yang mampu meraih predikat haji mabrur. Selain itu, harta yang dikeluarkan untuk berhaji pun akan diberi pahala yang sama dengan pahala pembiayaan di jalan Allah SWT. Sabda Nabi SAW, “Pembiayaan dalam perjalanan haji bagaikan pembiayaan di jalan Allah satu dirham diganjar dengan 700 kali lipat.“ (HR Ahmad dan Tirmidzi). Kemudian, bagi jamaah yang meninggal dunia di dalam perjalanan ibadah haji sama dengan mati syahid. Sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang meninggal dunia dalam perjalanan haji maka ia seperti orang yang mati di jalan Allah.“ (HR Muslim). Berikutnya, mendapatkan pahala jihad. Aisyah RA pernah berkata, “Kami berpendapat bahwa jihad adalah amalan yang paling utama, apakah kami tidak boleh berjihad?“ Nabi SAW bersabda, “Jihad yang paling utama adalah haji mabrur.“ (HR Bukhari). Dan diampuni segala dosanya sehingga sekembalinya dari Tanah Suci seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya. Sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang melaksanakan ibadah haji karena Allah dengan tidak melakukan rafats dan tidak berbuat fusuk, maka ia kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya.“ (HR Bukhari dan Muslim). Karena itu, hanya dengan keimanan, niat, tekad, kemauan dan kemampuannyalah yang akan memberangkatkan seseorang untuk berhaji. Semoga kita termasuk orang-orang yang akan mendapatkan undangan dari Allah SWT untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Amin. (*) *) Penulis adalah dosen Agama Islam Fakultas Hukum Universitas Kuningan, Jawa Barat.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: