Haedar Kandidat Terkuat Ketua Umum

Haedar Kandidat Terkuat Ketua Umum

Tetap Solid Kawal Khitah Makassar 1971 MAKASSAR - Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah 2010-2015 Haedar Nashir berpeluang besar menjadi ketua umum (ketum) periode lima tahun ke depan. Hasil pemilihan 13 anggota PP Muhamamdiyah kemarin menempatkan dia di posisi teratas. Haedar memperoleh 1.947 suara. Disusul Yunahar Ilyas di posisi kedua dengan 1.928 suara dan Dahlan Rais di posisi ketiga dengan 1.827 suara (selengkapnya lihat grafis). Secara tradisi, pemilik suara terbanyak akan dipilih menjadi ketum. Ketua PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menjelaskan, tradisi pemegang suara terbanyak menjadi ketum adalah bentuk dari konsekuensi demokrasi di tubuh Muhammadiyah. Mekanisme pemilihan ketum selalu menggunakan sistem musyawarah mufakat. Tidak ada voting. “Suara terbanyak ditanya, apakah bersedia menjadi Ketua Umum. Kalau dia siap, ya sudah, selesai,” terangnya. Dia menyebut kondisi di beberapa periode terakhir. Pada 1995, tuturnya, Amien Rais memegang suara terbanyak pada 13 formatur terpilih. Dia pun melenggang menjadi ketum. Begitu pula Ahmad Syafii Maarif yang terpilih pada 2000. Pada 2005, Din Syamsuddin menjadi nomor 3, namun dia ditunjuk sebagai Ketum. Pada 2010, Din terpilih lagi menjadi ketum setelah mendapat suara terbanyak dalam muktamar. Menurut Mu’ti, ke-13 formatur itu menghormati hasil muktamar. “Kami memahami bahwa perolehan suara muktamar itu cermin dari aspirasi warga Muhammadiyah melalui para pimpinannya yang ada di muktamar,” lanjutnya. Hal itu menunjukkan Demokrasi masih dipegang oleh Muhammadiyah. Lagipula, menjadi ketua umum nyaris tidak ada bedanya dengan para ketua yang lain. Ketua umum ibarat dimajukan selangkah dan ditinggikan seranting. Pengambilan keputusan strategis organisasi harus melalui forum pleno PP Muhammadiyah. “Mungkin bedanya hanya menandatangani SK dan tidak menandatangani SK saja,” tambahnya. Pemungutan suara untuk menentukan 13 formatur berlangsung sejak pukul 08.00 Wita di Balai Sidang Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh). Sekitar 2.500 peserta disodori daftar profil 39 calon formatur dan dipersilakan untuk memilih. Mereka menuliskan 13 nama calon formatur yang dipilih di kertas suara. Karena banyaknya jumlah pemilik suara, panitia menyediakan 20 bilik suara untuk menentukan pilihan. Selain itu, lima buah kotak suara disiapkan untuk menampung kertas suara para pemilih. “Yang berpartisipasi kurang lebih 98 persen dari total 2.568 pemilik suara,” terang Ketua Panitia Muktamar Dahlan Rais. Pemungutan suara berakhir pukul 15.00 Wita. Sekitar pukul 20.00 Wita, perhitungan suara dilakukan di ruang IT Fakultas Kedokteran Unismuh. 15 komputer disiapkan untuk mengentry suara ke dalam program e-counting. Tidak seperti sidang Tanwir kemarin, proses perhitungan kali ini berlangsung lebih cepat, sekitar 2,5 jam. “Penginput data kan paling rawan, kami siapkan dari mahasiswa sini (Unismuh) yang tidak berkepentingan, dilatih dan sudah dipesan untuk berlaku netral,” lanjutnya. Hasil perhitungan suara semalam menunjukkan PP Muhammadiyah periode 2015-2020 bakal didominasi wajah-wajah lama. Sembilan incumbent PP Muhammadiyah periode lalu kembali terpilih menjadi anggota PP Muhammadiyah. Empat nama yang tidak memiliki jabatan di PP periode lalu adalah Busyro Muqoddas, Muhadjir Effendi, Suyatno, dan Hajriyanto Y Thohari. Usai perhitungan suara, Dahlan Rais menggelar konferensi pers. Dia menyatakan ke-13 anggota PP Muhammadiyah terpilih langsung dikirimi undangan resmi ke tempat menginap masing-masing. Sebab, pagi ini pukul 09.30 Wita mereka akan menggelar sidang pleno untuk menentukan calon ketua Umum PP Muhammadiyah 2015-2020. Calon Ketua Umum terpilih itu nantinya akan dihadirkan di forum muktamar untuk mengetahui pendapat para peserta. Apakah peserta muktamar menyetujui pilihan para formatur baru bisa diketahui sore ini. “Saya optimis calon ketua akan diterima oleh muktamar, karena selama ini selalu begitu,” ucapnya. Sementara itu, Haedar Nashir menolak memberi banyak komentar mengenai hasil penghitungan untuk 13 formatur ketua PP Muhammadiyah yang mendudukkannya sebagai peraih suara terbanyak. Kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group), dia menyatakan, bahwa nantinya panitia pemilihan akan mengumumkan secara resmi dalam sidang muktamar. “Kita tunggu saja,” katanya. Ditanya soal kansnya yang besar untuk menjadi ketua umum PP Muhammadiyah, Haedar menyebut bahwa sudah menjadi etika di organisasinya yang sudah mendarah daging, untuk tidak mencari jabatan. Tapi jika diberi amanat, dilarang menghindar. PARTAI MUHAMMADIYAH HANYA SEKADAR WACANA Sementara itu, gagasan untuk mendirikan Partai Muhammadiyah hampir dipastikan tidak terwujud. Sejumlah tokoh kunci organisasi yang didirikan Ahmad Dahlan tersebut cenderung tetap mempertahankan posisi Muhammadiyah saat ini. Yaitu, tidak berafiliasi secara organisatoris dengan partai politik (parpol) mana pun. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif meyakini, Muhammadiyah tidak akan mengambil opsi berdekatan dengan parpol. Apalagi sampai membentuk parpol. “Muhammadiyah sudah berpengalaman. Tidak bahagia di partai politik,” kata Buya, sapaan akrabnya, kemarin (5/8). Hal itu mengacu pada pengalaman Muhammadiyah yang ikut mendirikan dan menjadi anggota istimewa Partai Masyumi pada 1945-1959. Meski begitu, Buya menegaskan, Muhammadiyah mempersilakan kader-kadernya untuk bergabung dengan parpol. Tentu, secara personal, bukan organisasi. Muhammadiyah akan lebih memfokuskan diri mencetak kaum intelektual lewat kampus-kampusnya. “Siapkan kader-kader bangsa ini, lalu dihibahkan kepada negara,” tambah pria yang memimpin Muhammadiyah dua periode, 1998-2000 dan 2000-2005, tersebut. Dia hanya berpesan kepada warga Muhammadiyah yang hendak berpolitik. Apabila hendak masuk ke partai atau pemerintahan, kata Buya, kondisi ekonomi harus baik terlebih dahulu. “Jangan masuk parpol untuk menghidupkan asap dapur,” ujar Buya yang tahun ini genap berusia 80 tahun itu. Pandangan senada disampaikan Abdul Malik Fadjar. Menteri pendidikan nasional periode 2001-2004 tersebut mengatakan, Muhammadiyah memang tidak pernah bebas dari desakan kepentingan politik di sekelilingnya. Meski begitu, selama ini Muhammadiyah cukup baik dalam memainkan peran sehingga tidak terseret. Dia menegaskan, Muhammadiyah tidak perlu berpolitik. Apalagi sampai membentuk parpol. “Itu pesan saya sebagai orang tua,” ucapnya di sela-sela memberikan ceramah terbuka tentang Islam Berkemajuan di hadapan ribuan peserta muktamar di Universitas Muhammadiyah Makassar tadi malam. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais (1995-1998) juga sependapat. “Kalau bikin parpol, nanti bikin (Muhammadiyah, red) pecah,” jelasnya. Tanpa partai politik pun, Amien menilai Muhammadiyah tetap memiliki kekuatan politik yang cukup besar. Tetapi, selama ini sering tidak digunakan. Menurut dia, kekuatan politik itu baru muncul ketika ada masalah serius. Misalnya, saat Presiden Soeharto terus menjabat selama 30 tahun tanpa ada tanda-tanda regenerasi. Amien akhirnya naik panggung dan menyerukan perubahan. “Kalau bukan orang Muhammadiyah, pasti saya tidak didengar,” ucapnya. Sementara itu, Din Syamsuddin juga ikut mengklarifikasi pernyataannya. Din menegaskan, opsi-opsi politik Muhammadiyah tidak murni lahir dari dirinya. Opsi pembentukan parpol merupakan buah dari pembicaraan hangat di arena muktamar untuk menegaskan sikap politik Muhammadiyah ke depan. Din mengaku kurang sreg dengan opsi pembentukan parpol maupun berafiliasi dengan parpol tertentu. Namun, dia harus tetap menyampaikan opsi tersebut untuk mengakomodasi aspirasi sebagian warga Muhammadiyah. “Menurut saya pribadi, pilihan khitah Makassar 1971 sangat-sangat tepat,” ujarnya. Khitah Makassar adalah sebutan hasil Muktamar Muhammadiyah di Makassar pada 1971. Dalam muktamar tersebut, Muhammadiyah menegaskan posisinya yang tidak menjalin hubungan organisatoris, struktural, dan tidak berafiliasi dengan partai mana pun. Meski begitu, dalam praktiknya, Muhammadiyah tetap didekati banyak parpol. Terutama, pascareformasi dengan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998, menyusul Partai Matahari Bangsa (PMB) delapan tahun kemudian. Din menyerahkan forum muktamar untuk memutuskan sikap yang akan diambil. “Apa mau diubah khitah itu di Makassar, mumpung muktamar diadakan di Makassar,” pancing ulama 57 tahun tersebut. (byu/eko/ca/c7/pri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: