Jangan Tinggalkan Budaya dan Pariwisata
Saat Kota Cirebon menjadi Kota Perdagangan dan Jasa \"Dulu Cirebon itu masih kental tradisinya, sekarang sudah beda jauh. Banyak mal-mal dan bangunan hotel, banyak bisnisnya,\" kata seorang warga pendatang yang dulu pernah bersekolah di Cirebon terheran. Ungkapan itu pun diakui oleh Ketua Komunitas Amparan Jati Cirebon, AkbarudinSucipto. MENURUT Akbar, pembangunan fisik di Kota Cirebon terutama sentra perdagangan dan jasa semakin meningkat. Namun juga, yang tidak boleh dilupakan adalah pembangunan manusia secara komprehensif melalui pengetahuan dan budaya Cirebon. Sehingga, ketika pembangunan mengarah ke perdagangan dan jasa, tidak melupakan juga karakteristikdan budaya masyarakat Cirebon. Mengenai kota perdagangan dan jasa, kata Akbar, ia sendiri sepakat karena secara historis saat zaman Belanda, kota seluas 38 kilometer persegi itu dijadikan sebagai pusat perdagangan dan jasa. Namun saat itu diimbangi pula dengan adanya pesantren yang didirikan oleh para walisanga. Hal inilah yang belum bisa dilakukan oleh pemerintah saat ini. \"Ada ketidakseimbangan dalam menata pembangunan di Kota Cirebon. Ketika pembangunan fisik itu juga harus diimbangi dengan pengetahuan budaya masyarakat Cirebon itu sendiri,\" ujarnya. Dengan demikian, pembangunan kota pun, kurang disertai dengan semangat untuk menggali pengetahuan dan budaya. Itu terlihat ketika bangunan cagar budaya yang rusak dan sudah tidak berbekas lagi. \"Membangun itu tidak hanya untuk urusan fisik, tapi juga manusianya secara komprehensif,\" tandasnya. Kepala Disporbudpar Kota Cirebon, Dana Kartiman mengatakan, Kota Cirebon saat ini sudah menjadi kota transit dan sentra bisnis di wilayah III Cirebon. Dengan luas wilayah yang kecil, maka tidak ada pilihan lain untuk mengembangkan wilayah. \"Kita tidak bisa menjadi kota industri, karena lahan kita sangat sempit. Maka kita tawarkan perdagangan dan jasa, munculah banyak pusat perbelanjaan, pusat hiburan dan hotel-hotel,\" kata dia. Ia juga mengatakan perlu komitmen untuk menjadikan Kota Cirebon sebagai perdagangan dan jasa. \"Kalau sudah perdagangan dan jasa ya, kita fokus saja di situ seharusnya,\" ujarnya. Mengenai pengembangan wisata, Dana menjelaskan ada beberapa kawasan yang bisa dikembangkan. Salah satunya kajian itu merapat ke kawasan Kejawanan, karena ada tanah pemerintah yang efektif untuk digarap. Selain itu, ada juga kawasan pelabuhan. Di sana bisa menjadi titik sentra pariwisata pengunjung. Dana juga menyebutkan, perlua adanya koordinasi antara pemerintah daerah sewilayah III Cirebon untuk menyatukan persepsi mengenai wisata. \"Karena tempat wisata di Cirebon itu ya saling terkoneksi, ini pentingnya koordinasi supaya wisata bisa satu paket,\" katanya. Pengembangan wisata di Kota Cirebon berbeda dengan daerah lain yang memiliki kuat dari sisi karakter budayanya, seperti Bali dan Jogjakarta. Menurut Dana, di sana wisata sudah menjadi budaya, dan budaya telah menjadi wisata. Salah satunya karena kuatnya unsur agama dalam budaya masyarakat setempat. Terpisah, Kepala Bidang Fisik Lingkungan Bappeda Kota Cirebon, Arif Kurniawan ST menjelaskan, core utama pembangunan di Kota Cirebon tetap pada perdagangan dan jasa. Sementara pariwisata dan budaya itu menjadi bagian dari perdagangan dan jasa. Namun ia juga tak menutup mata ketika pengembangan pariwisata dan budaya ini tidak begitu optimal di Kota Cirebon. Kendalanya tetap berada di anggaran pariwisata dan budaya yang sangat minim. Hal ini sebenarnya bisa ditelusuri lagi, akibat dari ketidakharmonisan antara pemerintah dan juga keraton. Selama ini, keduanya masih berjalan masing-masing. Pemkot fokus mengembangkan kota sebagai perdagangan dan jasa. Sementara keraton dari sisi wisata dan budaya. \"Imbasnya wisata dan budaya ini tidak tergali maksimal,\" terangnya. Kota Cirebon sebenarnya memiliki potensi yang bagus untuk dikembangkan. Disebutkan Arif, Kota Cirebon memiliki aset empat bangunan keraton, ada pula event-event budaya, dan juga para pelaku seni. Semua ini merupakan aset yang belum bisa dikembangkan secara maksimal. \"Ada alasan internal dan eksternal kenapa anggaran kita sangat minim untuk pariwisata dan budaya, karena ketidakharmonisan antara keraton dan pemerintah. Di samping juga aturan birokrasi karena pemkot juga tidak boleh sembarangan memberikan anggaran,\" sebutnya. Pemkot sebenarnya memiliki kajian Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) yang sudah disusun. Ia berharap dengan adanya RIPPDA ini bisa menjadi acuan. \"Ke depan ini bisa menjadi acuan, dan seharusnya didorong menjadi perwali dan perda, sebagai acuan pengembangan pariwisata dan budaya di Kota Cirebon,\" tukasnya. (jml)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: