Raden Udin Kaenudin, Sang Pewaris Sejarah Mertasinga (1)

Raden Udin Kaenudin, Sang Pewaris Sejarah Mertasinga (1)

CIREBON telah diberkahi, tak hanya oleh kekayaan semangat kebudayaan dan kemasyarakatan, tetapi juga oleh sejarah panjang perkembangan gagasan yang cemerlang. Berbagai gagasan ini merupakan hasil persaingan sekaligus percampuran berbagai pandangan dari orang-orang berwawasan yang mengedepankan penguatan harkat dan martabat manusia dalam proses pembangunan yang tiada hentinya mencari alternatif munculnya peradaban baru yang lebih membebaskan, lebih mencerahkan, lebih adil, dan lebih manusiawi. “Sejarah adalah pondasi kita. Eyang buyut saya adalah penguasa di wilayah kerajaan Singapura (Desa Singapura,red), maka prinsip dan semangat saya adalah hidup menjadi orang yang berguna dan bermanfaat untuk orang lain,” ujar R Udin Kaenudin Camat Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, saat ditemui Radar Cirebon, Sabtu (8/8) di kediamannya, yang dipenuhi ukiran kayu berciri khas Cirebon. Menurut Cung Udin, panggilan kecilnya, saya sebagai orang yang diamanahi tanggung jawab oleh Bupati Drs H Sunjaya Purwadisastra MM MSi untuk memimpin di wilayah Kecamatan Gunung Jati. “Saya bisa napak tilas sebagai seorang pewaris sejarah dari Kerajaan Singapura,” ujarnya. Siapa Udin Kaenudin? Raden Udin Kaenudin adalah anak dari pasangan Raden Suchri Permadi Hidayat dan Ratu Aminah binti Pangeran Sair Gani. Pria kelahiran tahun 1965 ini, melewati masa kecilnya dengan keprihatinan. Kehidupan telah menempa Udin kecil menjadi pribadi yang tangguh. “Sejak kecil, ikut sama ibu di Desa Mertasinga dan ayah di Desa Trusmi, karena orang tua saya berpisah. Saya diasuh kakek tiri, Kasan Durgi atau dikenal Nong Durgi,” tuturnya dengan sedikit usaha menahan air mata. Tentang kakek tiri Udin, yang ia ingat adalah seorang tokoh Sirnabaya. “Beliau mendidik saya dengan penuh kasih sayang dan selalu berpesan agar menjadi orang yang lurus dan sukses,” tuturnya. Ada cerita menarik dari kakek tiri Udin. Setiap keinginan Udin kecil, semisal ingin membeli baju dan celana. “Saya disuruh puasa terlebih dahulu,” ingat Udin. Pola asuh kakek tiri Udin selalu mendidik jiwa yang spiritualis, cukup mempengaruhi Udin kecil. “Mungkin, kakek tiri saya tergolong orang jaman dulu dan cukup ditokohkan. Arahan-arahannya hingga saat ini masih saya lakukan,” ucapnya. Sepeninggal Nong Durgi, Udin kembali kepada orang tuanya, di Blok Budiraja Desa Mertasinga. “Saya diberi amanah oleh ayah tiri, untuk tidak meninggalkan Mertasinga. Sambil memandikan saya, saat itu, usia sekitar 7 tahun, beliau selalu memberikan pesan tersebut,” katanya. Tentang ayah tiri Udin, Mohammad Kastiyah, adalah seorang pejuang melawan agresi militer Belanda II. Ayah Mohammad Kastiyah, tambah pria usia 49 tahun ini, juga seorang pejuang yang tertembak Belanda di wilayah Dadap, Pasar Karang Ampel (saat itu Markas Belanda). Namun, sejak pemberontakan Kawilarang dan Soumokil mengundurkan diri menjadi tentara. “Oleh ibunya, disuruh mengurus perahu dan akhirnya menjadi seorang pelaut,” papar Udin. Gemblengan hidup dari Nong Durgi dan Mohammad Kastiyah membentuk Udin Kaenudin menjadi orang yang berkepribadian kokoh dan pantang surut. “Kesedihan menjadi motivasi agar hari ini harus lebih baik dari hari kemarin,” ujarnya. (bersambung). (jun/wb/opl)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: