Saptonan Sedot Ribuan Pengunjung
KUNINGAN - Kegiatan Saptonan yang digelar Rabu pagi (2/9) di Lapangan Desa Kertawangunan Kecamatan Sindangagung menyedot ribuan warga untuk menyaksikan helatan yang digelar setahun sekali. Sejak pagi hari, warga berduyun-duyun untuk menyaksikan rangkaian acara peringatan Hari Jadi ke-517 Kuningan tersebut. Acara dimulai pukuil 09.30, di mana Bupati Hj Utje Ch Hamid Suganda dan Wakil Bupati H Acep Purnama bersama pejabat Kuningan dan unsur Muspida menaiki delman dari Pendopo menuju lokasi acara Saptonan. Dengan menggunakan baju adat Sunda, iring-iringan ini medapatkan sambutan hangat dari warga. Sebelum dimulai, Saptonan yang merupakn lomba ketangkasan dalam menunggangi kuda lalu memasukkan tombak ke lubang berupa ember yang tergantung, telebih dahulu ditampilkan perwakilan dari lima kademangan atau kecamatan. Iringi-iringan mereka terdiri dari tumenggung, kademangan prajurit, pamager sari, jugul dan hamba rahayat. Mereka bukan hanya menampilkan antraksi, tapi juga menyerahkan upeti atau seba kepada Sang Ratu alias bupati. Seba sendiri setelah diterima bupati diberikan kepada warga. Tanpa dikomando, warga menyerbut upeti yang berisi hasil olahan bumi. Setelah itu, acara utama berlangsung, yakni Saptonan. Peserta terdiri dari 22 peserta. Mereka diberi kesempatan dua kali untuk menembak sasaran. Kemudian ditutup acara lomba panahan tradisional. Menurut istilah, Saptonan berasal dari kata dalam bahasa Sunda yaitu Saptuan. Oleh sebab itu, Saptonan diselenggarakan setiap hari Sabtu. Dan biasanya diselenggarakan setahun sekali. Saptonan digelar secara meriah di tingkat kabupaten, dengan sebutan Pesta Raja yang dilaksanakan setiap tanggal 31 Agustus. Beberapa tahun lalu dilaksanakan pada acara puncak setelah memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan RI. Secara etimologi dan historis, kegiatan Saptonan dan Panahan Tradisional adalah acara rutin setiap hari Sabtu, setelah kegiatan serba raga (sidang) yang dilaksanakan di sekitar istana kerajaan Kajane (Kuningan) dan mempunyai makna yang dalam seperti heroisme. Ketangkasan berkuda dan panahan dalam bela Negara menerapkan rasa kebersamaan antara pemerintah dengan rakyatnya. Juga sebagai upaya promosi kepariwisataan daerah dan pelestarian nilai-nilai budaya tradisional. Makanya, dalam memeriahkan Hari Jadi Kuningan, setiap tahun pada bulan September acara Saptonan dan Panahan Tradisional ini digelar. Untuk mengikuti tradisi Saptonan, banyak hal yang perlu diperhatikan, di samping ketangkasan menunggang kuda. Kudanya harus kuda pilihan dan mengerti terhadap bunyi gamelan. Untuk pakaian peserta harus memenuhi syarat. Jenis aksesoris dan perhiasan kuda juga dinilai. Kuda Saptonan disamping tangkas, badannya harus tanggunh dan kuat. Bulunya harus mengkilap, bisa beratraksi dalam berbagai gaya mengikuti irama gamelan sebagai pengiringnya. Sedangkan atribut yang dipakai di bagian kepala dan bagian belakang badannya berdiri bulu-bulu merak. Pakaian yang beraneka ragam dan corak, ada yang memakai pakaian raja, patih atau penggawa. Ada juga yang memakai pakaian prajulit keraton dan corak lainnya yang memperlihatkan kesatria. Persyaratan pakaian ini setelah zaman kemerdekaan semakin tidak mengikat. Tidak sembarangan orang bisa mengikuti tradisi Saptonan, karena tradisi ini sengaja diciptakan untuk para lurah (kepala desa). Tetapi setelah kaum penjajah Belanda meninggalkan Indonesia, Saptonan bisa diikuti siapa saja yang berminat dan memiliki kuda. Pelaksana lomba Saptonan ini diawali dengan gamelan goong renteng, sedangkan medan Saptonan di lapangan luas yang dipasangi tiang bambu sepanjang 8 meter. Dengan ketinggian 2,5 meter. Pada bagian tengah tergantung dua buah ember yang terletak agak berjauhan. Pada bagian ember tersebut ditempelkan sebuah besi pipih yang sudah dilubangi tengahnya untuk dicoblos oleh para peserta dengan menggunakan tongkat sepanjang 2,5 meter dan terbuat dari bambu atau kayu. Sebelum melakukan hal itu, peserta diharuskan berkeliling lapangan sebanyak tiga kali putaran, sebagai acara pemanasan. Begitu dipanggil satu persatu, masing-masing memperlihatkan keahlian kudanya dalam menampilkan gaya tarian untuk bisa dinikmati penonton yang membanjiri alun-alun. Penampilan gaya-gaya dari setiap kuda ini masuk dalam penilaian tim juri. Selesai adegan ini kemudian kuda dilarikan dengan kecepatan tinggi melewati bagian bawah tiang bambu yang sudah disedakan di tengah alun-alun. Dengan keahliannya, masing-masing peserta berusaha mencoblos ember berisi air yang tergantung di atas tiang mempergunakan tongkat yang dibawa, kemudian satu persatu mencoblos besi pipih yang ditempel di bagian bawah ember tersebut. Pencoblosan pada lubang ember itu mudah-mudah susah, bagi yang berhasil mencoblos dan air dalam ember tumpah tetapi tongkatnya tetap ditinggal pada lubang pencoblosan dan akhirnya jatuh, tidak akan mendapat nilai. Untuk melakukan hal itu kelihatannya mudah, tetapi tidak semudah yang diperkirakan orang, sebab umumnya ember tumpah menyiram punggung kuda dan tongkat tetap di tengahnya, bahakan kadang-kadang terjatuh karena kurang keseimbangan. Bila sudah terjadi begitu, maka terdengar sorak-sorai penonton dibarengi bisingnya goong renteng yang dibunyikan terus menerus, sedangkan korban yang jatuh mengaduh kesakitan. Biasanya pemenang Saptonan tidak hanya seorang, tetapi lebih dan untuk menentukan siapa juaranya akan digelar pertandingan final. Bagi pemenang diberikan hadiah yang sangat menarik, pada umumnya hadiah yang sangat berharga dan bisa dimanfaatkan sehari-hari, tetapi bagi peserta kemenangan lebih bernilai dari hadiah-hadiah tersebut, serta menjadi kebanggan, karena menyangkut kondite pribadinya sebagai lurah. Pada kegiatan terakhir, panitia juga memberikan hadiah bagi para kademangan yang juara. Adapun yang juara yakni juara 1 Kademangan Sura Adipati Kecamatan Luragung, juara 2 Kademangan Jaya Giri Kecamatan Ciawigebang, juara 3 Kademangan Bratasana Jaya Kecamatna Cipicung, juara 4 Kademangan Mandala Jaya Kecamatan Lebakwangi dan juara 5 Kademangan Raksa Kancana Jaya Kecamatan Darma. Kemudian, juara Ketangkasan Berkuda, juara 1 Ami dari Awirarangan, juara 2 Cimon dari Cigadung, juara 3 Suwitno dari Lebakardin, juara 4 Dadang dari Cijoho Landeun. Lalu, juara Panahan Tradisional, juara 1 Nyoco, juara 2 Dolar, juara 3 Cakil, juara 4 Dewa dan juara 5 Zaky. “Kami terus berupaya melestarikan seni tradisi agar tidak punah. Saptonan ini terus digelar agar semakin dikenal dan terus diupayakan semakin menarik,” jelas Kadisparbud Kuningan, Drs Teddy Suminar MSi. Terpisah, Bupati Hj Utje Ch Suganda menerangkan, kegiatan ini harus terus digelar dan yang terpenting bisa mengehibur dan mengingatkan warga. Sengaja yang ditampilkan tidak semua kecamatan tapi hanya lima kecamatan. (mus)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: