Pengusaha Pilih BBM Naik
Jk Soroti Konversi BBM ke BBG JAKARTA - Dua induk organisasi pengusaha terbesar di Indonesia mulai angkat bicara terkait polemik rencana pembatasan konsumsi BBM subsidi. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia serta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) lebih memilih opsi kenaikan harga BBM, dibandingkan pembatasan. Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto mengatakan, pihaknya menilai kebijakan pemerintah untuk menurunkan beban subsidi BBM adalah sesuatu yang wajar. “Tinggal dipilih opsi mana, apakah pembatasan (konsumsi, red) atau kenaikan harga,” ujarnya saat rapat dengan Komisi VII DPR kemarin (19/1). Menurut SBS, demikian Suryo disapa, subsidi harus diberikan secara tepat sasaran, berdaya guna, dan tidak permanen. “Karena itu, ke depan subsidi BBM ini harus dikurangi, atau bahkan jika mungkin dihilangkan. Lihat saja, negara lain seperti Filipina juga tidak mensubsidi BBM untuk rakyatnya,” katanya. SBS menyebut, dana subsidi mestinya digunakan untuk keperluan yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur. Dengan membaiknya infrastruktur, otomatis biaya logistik akan semakin murah dan imbasnya harga barang/jasa pun bisa ikut murah. Menurut dia, kebijakan pengurangan subsidi harus dilakukan melalui skema yang bisa meminimalisasi penyelewengan, seperti penyelundupan BBM ataupun pengoplosan. Karena itu, jika memang opsi pembatasan rawan dengan penyelewengan, maka pemerintah bisa menempuh opsi menaikkan harga. Untuk itu, lanjut dia, agar lebih fair, Kadin mengusulkan skema kenaikan harga BBM subsidi untuk untuk kendaraan umum dan sepeda motor naik Rp1000 per liter menjadi Rp5.500 per liter, sedangkan untuk pemilik mobil pribadi naik Rp2.500 - 3.000 per liter menjadi Rp7.000 - 7.500 per liter. “Dengan opsi ini, penghematan subsidi bisa sampai Rp100 triliun. Nah, penghematan ini harus dialokasikan khusus untuk membangun infrastruktur dan membantu UMKM,” terangnya. Sementara itu, di tempat sama, Wakil Ketua Apindo Anton J Supit mengatakan, dengan waktu yang sudah mepet, pemerintah mestinya realistis untuk memilih opsi pengurangan subsidi BBM, apakah dengan pembatasan konsumsi atau dengan kenaikan harga. “Kalau pembatasan atau pengalihan ke BBG, itu kan begitu rumit. Jadi, melihat kondisi kesiapan di lapangan, opsi kenaikan harga akan lebih realistis,” ujarnya. Menurut Anton, jika pemerintah berpikir bahwa ongkos politik menaikkan harga BBM akan tinggi, maka ongkos politik untuk membatasi BBM pun juga sama-sama tinggi. Sebab, akan memaksa pemilik mobil pribadi untuk berpindah dari BBM subsidi seharga Rp4.500 per liter ke BBM nonsubsidi seharga Rp8.500 per liter atau hampir lipat dua. Karena itu, lanjut dia, daripada melakukan pembatasan dan konversi BBG yang ujung-ujungnya juga membuat masyarakat membayar lebih mahal, maka sebaiknya pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM secara bertahap Rp500 per liter. “Secara organisasi, Apindo lebih memilih opsi kenaikan harga BBM secara bertahap, dibandingkan opsi pembatasan,” ucapnya. Secara terpisah, Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo menilai ada empat opsi yang dapat dilakukan untuk memangkas subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya bensin Premium. Pertama, menaikkan harga jual premium untuk mobil pribadi setiap tahun hingga mencapai harga keekonomiannya. Saat ini, harga premium bersubsidi Rp4.500 per liter, sementara keekonomiannya Rp8.000 per liter. “Sebagai contoh, 1 April Tahun 2012 naik menjadi Rp6.000 per liter, tahun 2013 menjadi Rp7.000 per liter dan 2014 menjadi harga pasar sekitar Rp8.000 per liter,” katanya usai menghadiri Raker Pemerintah di JI Expo, Kemayoran, kemarin (19/1). Opsi kedua adalah menaikkan harga Premium pada 1 April 2012 menjadi Rp8.200/liter untuk wilayah Jakarta, lantas dilakukan hingga ke daerah secara bertahap hingga 2014. “Dua opsi ini sudah diusulkan (Menteri ESDM) Jero Wacik,” tuturnya. Opsi ketiga adalah menaikkan harga bensin premium untuk mobil pribadi secara otomatis 5 persen per bulan, sehingga dalam satu setengah tahun harga bensin premium sudah Rp8.100/ liter. “Opsi ini dilakukan pemerintah Inggris. Dalam kenaikan tarif listrik, Inggris juga menaikkan satu persen per bulan, sehingga butuh 10 bulan untuk naik 10 persen,” terangnya. Opsi keempat adalah menarik beberapa komponen subsidi secara bertahap. Misalnya, pada 1 April 2012 biaya distribusi BBM yang selama ini ditanggung pemerintah dicabut, sehingga harga bensin premium meningkat menjadi Rp7.200/liter dan 1 April 2014 pajak BBM yang selama ini ditanggung pemerintah dikenakan pada konsumen, sehingga harga premium meningkat menjadi Rp8.200/ liter. “Sebaiknya mulai hari ini perbaiki transportasi umum dan kendaraan umum beralih ke BBG. Kendaraan pribadi dapat memakai BBM tidak bersubsidi,” terangnya. Sementara itu, di depan peserta rapat kerja pemerintah 2012, Presiden SBY meminta program pembatasan dan pengaturan BBM bersubsidi didukung. “Konversi BBM ke BBG meri kita sukseskan,” kata SBY saat menutup raker di Jakarta International Expo, Kemayoran, kemarin (19/1). Raker tersebut diikuti oleh seluruh anggota Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, gubernur, bupati/ wali kota, komite ekonomi nasional, dan komite inovasi nasional. Selain itu, para kapolda dan pangdam juga ikut mendengar arahan presiden. Menurut SBY, pemerintah harus melakukan langkah-langkah untuk menyelamatkan kondisi perekonomian. “APBN dan fiskal kita harus aman meki ada gejolak ekonomi dunia. Subsidi harus kita kurangi,” katanya. Presiden mengharapkan, jajaran pemerintah pusat dan daerah memberikan dukungan pada program konversi tersebut. ** Konversi BBM ke BBG Skenario pemerintah untuk mendorong konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) mendapat catatan khusus dari mantan Wapres Jusuf Kalla. Dia menyampaikan harus ada persiapan yang matang, terutama infrastrukturnya, sebelum opsi itu direalisasikan. “Kalau hanya sekedar ngomong, ngomong, ngomong, langsung mengkonversi pada 1 April, mana bisa. Itu bisa menimbulkan kekacauan,” kata JK usai menghadiri silaturahmi tokoh-tokoh nasional di gedung pusat dakwah PP Muhammadiyah, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, kemarin. Tingkat kesulitan mengkoversi BBM ke BBG, tegas JK, tidak sama dengan mengkonversi minyak tanah ke gas yang telah berjalan. Konversi minyak tanah ke gas jauh lebih mudah dilakukan, karena fasilitas penunjangnya cukup dibuat satu saja di setiap kota. Sedangkan, mobil yang nantinya akan mengkonsumsi BBG selalu bergerak dari satu kota ke kota lain. “Mobil itu ke Bandung, Bogor, Semarang. Kalau di sana tidak ada fasilitas (BBG), bagaimana caranya nanti kalau kehabisan gas? Di mana mau dapatnya?,” ingat Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI), itu. Dia menegaskan infrastrukturnya harus dibuat secara lengkap terlebih dulu. Proses pembangunan infrastruktur itu bisa secara bertahap, namun harus mencakup seluruh daerah. “Jangan hanya separo-separo. Nggak bisa jalan kalau separo -separo. Orang akan marah dan terjadi kekacauan. Karena kalau anda ke Bogor, terus habis gasnya, mau beli di mana?” ujarnya. JK menambahkan pembatasan premium sebenarnya sama dengan menyuruh orang untuk membeli yang lebih mahal. “Sebenarnya sama saja dengan menaikkan BBM. Jauh lebih mudah itu,” kata JK. (pri)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: