Bantai Warga Sipil, Marinir AS Tak Dibui
CAMP PENDLETON – Kasus pembantaian di Haditha, Iraq, kembali mengancam hubungan Amerika Serikat (AS) dengan Negeri 1001 Malam itu. Pengadilan militer AS menjatuhkan hukuman 90 hari (tiga bulan) kepada Sersan Kepala Staff Sergeant, Frank Wuterich (31), atas perannya bersama tujuh marinir lain dalam pembantaian 24 warga Iraq pada 2005. Tetapi, bintara marinir AS tersebut tidak harus menjalani hukuman penjara alias dibui. Hal itu sesuai kesepakatan saat pra sidang. Apalagi, Wuterich mengaku bersalah dan menyesal atas dakwaan yang dijeratkan kepadanya. Meski begitu, dia membantah sebagai ‘pembunuh bayi berdarah dingin’. Wuterich mengaku lalai saat bertugas di Kota Haditha, Provinsi Al Anbar, Iraq, pada 2005. Terkait pengakuannya atas dakwaan tersebut, dia lolos dari pasal pembunuhan. Padahal, akibat kelalaiannya itu, 24 warga sipil Iraq yang semula diklaim sebagai anggota kelompok militan tersebut tewas. Termasuk, di antaranya perempuan dan anak-anak. “Sesuai perjanjian prasidang, majelis hakim tak sepakat dengan pengenaan hukuman percobaan. Karena itu, Staff Sergeant Wuterich tak perlu menjalani masa hukuman,” terang pengadilan militer dalam pernyataan tertulisnya. Pengadilan juga menurunkan pangkat Wuterich. Pria yang semula berpangkat tiga strip miring ke atas tersebut turun kelas menjadi prajurit. Selain itu, gaji Wuterich seharusnya dipangkas. Namun, mahkamah tak memotong gajinya karena bapak tiga anak itu selama ini berstatus orang tua tunggal. Hanya, selama tiga bulan Wuterich akan kehilangan dua pertiga gajinya. Setelah keluarnya keputusan pengadilan militer di Camp Pendleton, California, melalui pengacara Neal Puckett, Wuterich mengaku puas. Namun, Neal Puckett menegaskan bahwa kliennya itu tak akan berkomentar lebih lanjut tentang vonis hakim. “Kini, klien saya menghargai privasinya lebih dari apapun. Saya tak menyebut vonis ini sebagai keberhasilan. Tak ada seorang pun yang menang di sini,” paparnya. Vonis ringan yang dijatuhkan kepada Wuterich tersebut langsung menuai reaksi. Warga Haditha, terutama keluarga dan kerabat para korban, mengecam keputusan pengadilan militer itu. Mereka menilai, hukuman terhadap tentara yang kedua lengannya ditato itu terlalu ringan. Padahal, trauma akibat pembantaian itu masih membekas sampai sekarang. “(Vonis ringan) itu penghinaan bagi darah para korban yang telah tumpah,” ujar Khalid Salman, pengacara para korban. Kemarin pemerintah Iraq juga menyatakan kecewa atas vonis atas Wuterich itu. Pemerintahan Perdana Menteri (PM) Nuri al-Maliki pun berencana mengajukan langkah hukum (gugatan) setelah meminta nasihat hukum dari para pakar internasional. “Kami rasa, hukuman itu tak setimpal dengan kejahatan yang telah dia lakukan. Kami akan terus mengupayakan keadilan,” tegas Ali Mussawi, Juru Bicara PM Maliki. Sebelum vonis dibacakan di hadapan peserta sidang dan wakil keluarga korban, Puckett menyebut bahwa Wuterich tak selayaknya dihukum. “Yang terbaik seharusnya adalah tidak ada hukuman. Klien saya bukan penjahat. Dia punya moral dan integritas yang baik. Semua (pembantaian yang dia lakukan, Red) itu terjadi dalam pertempuran,” katanya dalam jumpa pers. Dalam sidang, Wuterich pun sempat minta maaf kepada keluarga para korban. “Kata-kata jelas tak dapat mewakili penyesalan diri saya atas kematian orang-orang yang Anda cintai. Saya tahu, tidak ada yang bisa saya katakan untuk meringankan duka Anda,” tuturnya kepada tiga kerabat keluarga korban pembantaian. Tetapi, dia menegaskan lagi bahwa ketika itu dia hanya menjalankan tugasnya sebagai serdadu. Pada 19 November 2005, Wuterich memimpin patroli di Haditha setelah dua serdadu AS terluka akibat ranjau yang ditanam militan Iraq. Ketika itu, dia mencegat sebuah taksi yang mengangkut empat mahasiswa. Entah apa sebabnya, dia tiba-tiba menyuruh sopir taksi dan para penumpangnya turun, kemudian menembak mati mereka dari jarak dekat. Tak lama kemudian, muncul beberapa rekan Wuterich. Bersamaan dengan itu, mereka mengaku mendengar suara tembakan dari arah permukiman. Karena itulah, Wuterich bersama tujuh marinir AS itu melakukan razia ke tiga rumah warga. Konon, sempat terjadi baku tembak dengan penghuni rumah. Penembakan di tiga rumah warga tersebut menewaskan 19 orang. Secara total, insiden di Haditha itu mengakibatkan tewasnya 24 orang. Semula, AS menyebut insiden itu sebagai aksi bela diri marinirnya atas serangan militan Iraq. Tetapi, belakangan diketahui bahwa seluruh korban Wuterich dan koleganya adalah warga sipil. AS pun perlu waktu enam tahun untuk mengangkat kasus itu ke pengadilan. Pada 2008, dakwaan terhadap tujuh rekan Wuterich dalam pembantaian tersebut dicabut. Mereka dinyatakan tidak bersalah karena hanya menjalankan tugas. (AP/AFP/RTR/hep/dwi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: