Program Bela Negara Mulai Ditolak 

Program Bela Negara Mulai Ditolak 

Militer dan Elite Sipil Belum Bisa Jadi Contoh Kedisiplinan JAKARTA- Program Bela Negara dengan pendekatan pelatihan dasar kemiliteran terus menuai kritik. Program yang digagas Kementerian Pertahanan tersebut dianggap hanya akan membebani anggaran negara serta tak sesuai dengan perkembangan zaman. Publik juga menilai, program bela negara belum layak diterapkan karena militer dan elite sipil justru banyak yang tak bisa memberi contoh keteladanan. “Program itu kan menggunakan pendekatan militer, warga sipil akan dilatih kedisiplinan oleh prajurit TNI. Padahal faktanya di instansinya sendiri, banyak oknum TNI yang belum bisa memberi contoh kedisiplinan dan bela negara,” ujar Alex Argo Hernowo, dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Apa yang disampaikan Alex berdasar tingginya kasus-kasus pidana yang melibatkan oknum TNI. Data di Mahkamah Agung mencatat, sepanjang 2007-2014 ada 800-an kasus pidana yang melibatkan anggota TNI. Dari data sebanyak itu, Alex memiliki data detailnya sebanyak 438 perkara. Dari 438 perkara, 99 kasus merupakan penyalagunaan narkoba. Perkara lainnya yang cukup tinggi ialah disersi (38 perkara) dan penganiayaan (33). “Melihat angka-angka itu kan cukup ironis. Di internalnya sendiri TNI belum bisa mengatasi masalah-masalah anggotanya,” terang Alex. Kasus pembunuhan di Lapas Cebongan, pembunuhan aktivis Jopi Peranginagin dan terakhir penerimaan gratifikasi dari tambang di Selok Awar-Awar menjadi tamparan bagi TNI. Wahyudi Djafar dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat juga berpendapat sama. Dia menganggap pemerintah kurang tepat jika memaksa program bela negara dengan alasan kedisiplinan dan nasionalisme masyarakat yang rendah. “Pertanyaannya, apakah elite di pemerintahan saat ini kedisiplinan dan nasionalismenya sudah baik? Kalau iya, kok angka korupsi yang melibatkan pejabat kita masih tinggi?,” tanyanya. Faktanya memang korupsi di KPK paling banyak melibatkan PNS, politisi dan kepala negara. Semangat revolusi mental yang menjadi latar belakang bela negara menurut Wahyudi harusnya dilakukan terlebih dulu pada para elite di pemerintah. ”Bukannya malah memaksakan ke masyarakat dengan kalimat ancaman harus angkat kaki kalau tidak mau ikut bela negara,” ucap Wahyudi menyidir pernyataan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Tidak hanya itu, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat menilai program bela negara akan menimbulkan beban bagi anggaran pertahanan. Padahal saat ini Kementerian Pertahanan dan TNI tengah butuh anggaran yang besar untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) serta peningkatan kesejahteraan prajurit TNI. “Untuk pengadaan alutsista saja, Indonesia baru bisa memenuhi program minimum essential force pada 2014. Apa jadinya kalau program bela negara diterapkan,” jelas Putri Kanesia dari Kontras. Jika program bela negara diterapkan dalam konteks pertahanan untuk menghadapi ancaman perang, hal itu juga keliru. Sebab dalam konsep perang modern atau modern walfare, Kementerian Pertahanan harusnya memfokuskan penguatan teknologi alutsista TNI peningkatan profesionalitas tentara. Putri mengatakan sejumlah negara telah menghapus wajib militer. “Sebaliknya mereka melakukan penguatan teknologi alutsistanya,” terangnya.  Koalisi masyarakat sipil juga khawatir membuka ruang terbukanya berbagai milisi atau paramiliter baru. “Dalam sejarah, milisi atau para militer di Indonesia malah menjadi konflik. Seperti milisi di Timor Leste, Papua, Aceh hingga pamswakarsa yang marak di Jakarta,” terang Putri. Program bela negara menurut koalisi masyarakat sipil tidak harus dengan pendekatan militer. Menurut mereka, program-program pembibitan kedisiplinan dan nasionalisme harusnya tetap diserahkan ke Kementerian Pendidikan. Program-program seperti Pramuka, Palang Merah Remaja dan Paskibraka menurut mereka harusnya digelorakan lagi. Terpisah, pihak istana memastikan kalau program bela negara kalau nanti direalisasikan akan berbeda dengan wajib militer. Seskab Pramono Anung menyatakan, Presiden Jokowi hanya menginginkan ada suatu program pemerintah yang nantinya dapat meningkatkan disiplin dan etos kerja masyarakat. “Ada undang-undang yang atur itu, nanti kami yang siapkan (detil programnya),” kata Pramono Anung, di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin. UU yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dia menambahkan, kalau hingga saat ini, program bela negara masih dalam proses untuk ditetapkan secara resmi. Dia memastikan, program tersebut akan disusun dan ditetapkan dengan memperhatikan aturan yang ada. “Presiden selalu tertib pada rule. Soal apa bentuknya, itu nanti,” tandasnya. Sementara itu, ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin mengingatkan kalau program tersebut bisa bertentangan bukan hanya terhadap UU. Tapi, juga bisa bertentangan dengan UUD 1945. Dia memaparkan kalau konsep bela negara yang dirancang kemenhan itu terkait dengan pertahanan negara. Lebih lanjut, menurut dia, segala konsep pertahanan Negara, termasuk bela Negara kalau jadi direalisasikan, harus melalui proses persetujuan langsung rakyat. “Apalagi (pertahanan Negara) yang dilaksanakan oleh menteri pertahanan, itu harus melalui proses persetujuan langsung rakyat,” beber Irman. Dia menegaskan urusan bela Negara bukan murni urusan pemerintah. Atau, menjadi urusan otonom kemenhan. “Makanya, UU Pertahanan Negara tak banyak memberikan otoritas kepada pemerintah mengatur lebih lanjut konsep pertahanan Negara,” tegasnya. Irman kemudian mencontohkan menyangkut hal sederhana semisal, penidikan kewarganegaraan. Dalam konsep pertahanan Negara, pendidikan itu juga harus melalui persetujuan rakyat dalam bentuk UU. “Apalagi, konsep bela Negara, itu bukan urusan pemerintah secara otonom,” tegasnya, kembali. Karena itu pula, singgung dia, pemerintah juga tidak bisa melakukan proses intimidasi bahwa warga Negara yang tidak ikut program sebaiknya hengkang dari republik ini. “Jangan sampai ucapan hengkang yang bernada pengusiran dari pemerintah, bisa ternilai bahwa pemerintahan sedang mengembangbiakkan otoritarianis baru atas nama negara. Tentunya ini ancaman terhadap konstitusi dan demokrasi,” sindirnya. (gun/dyn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: