PPP Romi Pecah Kebuntuan E-2
Perlu Langkah Konkret, Kunci Utama Tetap di Tangan Walikota KEJAKSAN - Terbentuknya kepengurusan DPC PPP Kota Cirebon versi Romahurmuzy (Romi), yang diketuai Kusnadi Nuried, terus menuai respons positif. Internal Partai Golkar menilai, kemunculan kepengurusan PPP versi Romi ini, akan membuat proses pemilihan wakil walikota bakal berjalan mulus. Kader Partai Golkar Kota Cirebon, Didi Sunardi SE menegaskan, kemunculan kepengurusan DPC PPP Kota Cirebon versi Romi justru semakin menguntungkan calon yang diusung sebagai wakil walikota. Imbasnya, langkah Dra Hj Eti Herawati sebagai calon wakil walikota yang sebelumnya diusung Partai Demokrat pun, akan berlangsung mulus. “Adanya SK PPP versi Romi justru bakal memuluskan langkah Eeng Charli,“ ungkap Didi kepada Radar, Minggu (18/10). Selain Eeng Charli, yang diuntungkan juga adalah Golkar versi Agung Laksono yang diketuai Agus Sihombing dan Partai Demokrat. Apalagi kedua parpol itu sampai sekarang diakui oleh Kemenkumham. Didi berharap buntunya proses pemilihan wakil walikota akan berakhir dengan kepengurusan PPP versi Romi di Kota Cirebon. Terpisah, loyalis Nasrudin Azis, Umar Stanis Clau menegaskan, munculnya kepengurusan DPC PPP Kota Cirebon versi Romi segera direspons walikota dengan rencana mengundang parpol mitra koalisi untuk duduk bersama membicarakan calon wakil walikota. Hal ini dilakukan supaya tidak ada kesimpangsiuran informasi yang bisa berdampak pada terhambatnya pelaksanaan pemilihan wakil walikota. “Ada saja ya tangan Tuhan, diam saja selesai dengan sendirinya,“ kata Clau. Clau memprediksi, dalam waktu dekat tensi politik di Kota Cirebon akan kembali menghangat. Namun demikian, dia berharap tidak sampai memunculkan kegaduhan politik di Kota Cirebon. Sementara itu, Pengurus DPW PPP Jabar versi Djan Faridz, Agus Daryanto saat dikonfirmasi perihal PPP Romi melalui telepon selulernya tadi malam, nomornya tidak aktif. TUNGGU KESERIUSAN WALIKOTA Di tempat terpisah, Pengamat Kebijakan Publik Haris Sudiyana mengatakan, jika tidak kunjung ada wawali, akan ada gerakan nyata membuat Kota Cirebon demisioner. Artinya, posisi walikota semakin tersudutkan dari berbagai sisi. Karena itu, peran dan keberadaan wakil walikota sangat penting dalam menyelamatkan Kota Cirebon. “Demisioner sangat mungkin. Ini karena ulah para elit politik di Kota Cirebon yang tidak mau berusaha keras mewujudkan keberadaan wakil walikota,” ujarnya kepada Radar, Minggu (18/10). Lepas dari siapapun wakil walikota yang mendampingi Nasrudin Azis, Haris Sudiyana tidak mempersoalkan. Pasalnya, saat ini kepentingan masyarakat Kota Cirebon sudah tergadaikan dan tidak bergerak maju. Haris mendesak para elit politik untuk memperbaiki Kota Cirebon dengan tindakan nyata agar masyarakat merasa nyaman dan mendapatkan pelayanan terbaik di berbagai lini kehidupan. “Jangan sampai pemilihan wakil walikota dijadikan peta konflik dan mengorbankan masyarakat. Ini pelanggaran besar,” tegasnya. Padahal, dia menilai persoalan yang ada cukup sederhana. Jika tidak menemukan kata sepakat dalam pemilihan wakil walikota, Nasrudin Azis selaku walikota dapat langsung bertemu dengan Menteri Dalam Negeri dan meminta solusi atas persoalan tersebut. Dengan demikian, Menteri Tjahjo Kumolo dapat mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Mendagri untuk proses terbaik pemilihan wakil walikota. “Bisa dalam bentuk walikota boleh tunjuk langsung. Atau memberi tenggat waktu tertentu agar panitia pemilihan bekerja. Lewat dari waktu yang ditentukan, walikota langsung tunjuk nama. Selesai persoalan,” jelas Haris. Semua memahami peran wakil walikota sangat penting dalam membantu kinerja walikota. Namun, banyak menjadi pertanyaan tentang keseriusannya. Karena itu, Haris meminta walikota untuk melakukan tindakan nyata tanpa perlu basa-basi. “Buktikan keseriusan itu dengan tindakan, bukan sekadar omongan belaka. Hal ini juga menjadi solusi atas persoalan antara walikota dan SKPD. Ada pembagian tugas jelas dan membantu kinerja walikota. Sesegera mungkin ada solusi pemilihan walikota untuk menata birokrasi ke depan lebih baik. Jangan hanya konflik terus yang ditonjolkan,” tukasnya. Pengamat Kebijakan Publik Agus Dimyati SH MH mengatakan, proses pemilihan wawali bukan lagi ranah politik. Tetapi sudah masuk ke aturan administrasi. Sebab, saat Azis mengajukan dua nama ke panlih, saat itu proses politik berhenti. Selanjutnya, berganti menjadi proses administrasi. Menurut pria yang juga dosen Hukum Administrasi Negara di Unswagati ini, Azis membutuhkan sosok wawali sebagai pendamping. Setidaknya, hal ini untuk membagi tugas yang dibebankan seluruhnya kepada walikota. “Jangan sampai tugas menumpuk dibebankan kepada walikota. Ini harus dihindari dengan menetapkan wakil walikota,” ucapnya. (abd/ysf)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: