Tiga Nama Tak Layak Pimpin Golkar

Tiga Nama Tak Layak Pimpin Golkar

JAKARTA - Apabila dilangsungkan Musyawarah Nasional (Munas) dalam waktu dekat, terdapat tiga nama yang dinilai sudah tidak layak untuk memimpin Partai Golkar kedepan. Mereka yakni, Ketua Umum hasil Munas Bali, Aburizal Bakrie (Ical), Ketua Umum hasil Munas Ancol Agung Laksono, dan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, memberikan penilaiannya terkait kemelut Partai Golkar yang tak kunjung tuntas oleh karena ego dari dua kubu ini. Syamsudin Haris mengatakan, perlunya Partai Golkar segera menggelar Munas untuk memilih ketua umum baru. “Kalau Ical dan Agung mau mencalonkan diri sebagai ketua umum di Munas jelas sangat tidak layak. Mereka sudah gaek, sudah lewat masanya, dua orang itu pucuk konflik internal Golkar selama setahun belakangan ini,” katanya di Jakarta, Selasa (16/11). Begitupun dengan elit partai berlambang pohon bering yang juga menjabat Ketua DPR RI Setya Novanto. “Dari rekam jejaknya tidak baik, tersangkut beberapa dugaan kasus seperti Freeport dan juga waktu itu menemui Donald Trump. Dari segi usia juga sudah cukup gaek, bukan berasal dari kalangan muda Golkar,” kata Syamsuddin. Dia menekankan pentingnya regenerasi kepemimpinan di pucuk partai beringin. Pasalnya, desakan agar Golkar segera menggelar munas muncul tak hanya dari kubu Agung Laksono. Tuntutan tersebut juga muncul dari kubu Ical. Tokoh senior Partai Golkar Abdul Latief juga secara tegas meminta kepada Ical dan Agung Laksono untuk secara terbuka mundur dari kepengurusan masing-masing. Latif melihat kekalahan Golkar dalam pemilihan presiden dan pemilihan legislatif 2014 lalu di mana Golkar gagal. “Keduanya pengurus yang gagal. Dua-duanya harus mundur dan serahkan pada yang lain untuk mengembangkan Golkar dengan program yang pas,” kata Latief saat dihubungi, Selasa (15/11) Politisi senior Partai Golkar lainnya, Melchias Markus Mekeng mengatakan, Ical dan Agung harus segera mungkin menyelenggarakan Munas. Munas tersebut dilakukan selambat-lambatnya usai pilkada serentak 9 Desember 2015 mendatang, karena Munas merupakan keniscayaan dan tidak boleh dihindari. “Partai Golkar akan semakin terpecah belah apabila berada dalam situasi gamang dan tidak pasti akibat belum berakhirnya kisruh kepengurusan ganda,” imbuh Mekeng kepada wartawan di bilangan Slipi, Jakarta Barat, Selasa (17/11). Mekeng menyatakan, apabila sampai akhir Desember 2015 Golkar belum menggelar Munas, maka partai berlambang pohon beringin ini bakal mengalami kevakuman kepengurusan. Kondisi itu akan makin mengacaukan Golkar karena semua keputusan organisasi rentan untuk digugat keabsahannya. “Keputusan MA sudah jelas memerintahkan Menkumham mencabut SK kepengurusan hasil Munas Ancol. Sementara MA tidak memerintahkan Menkumham untuk menerbitkan SK kepengurusan hasil Munas Bali. Jadi jelas, ada kevakuman. Ini bisa menimbulkan komplikasi politik yang akut bagi Golkar,” tutur anggota DPR RI dari Dapil NTT itu. Mekeng mengingatkan, jika PG mengalami keterpurukan dan keruntuhan akibat ketidakmampuan para senior yang sedang memimpin dalam mencarikan solusi rekonsiliasi, maka mereka pula yang harus bertanggung jawab kepada sejarah dan kepada rakyat. Mereka akan dicatat sejarah gagal menyatukan kembali Golkar yang telah tercerai-berai. Mengenai teknis pelaksanaan Munas Bersama, Mekeng mengingatkan, di tengah kondisi Partai Golkar yang sedang terpecah atau dalam kondisi kelembagaan yang tidak normal seperti ini, Ical diharapkan lebih bersikap arif dan berjiwa besar. Sikap itu sangat perlu untuk mengembalikan kejayaan Partai Golkar. “Pak Agung Laksono sudah bersikap arif untuk membuka jalan bagi Munas. Kita berharap kearifan yang sama datang dari Pak Ical,” ucapnya. Dia berharap Ical dan Agung segera menyepakati pembentukan kepanitiaan Munas. Kepanitiaan harus berasal dari kader-kader kedua belah pihak. Begitu pun dengan kepesertaan Munas, agar disepakati kepengurusan dari kedua kubu. (aen)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: