Komitmen Penanganan HIV/AIDS Rendah
KUNINGAN – Bertepatan dengan Hari HIV/AIDS Sedunia, sejumlah aktivis yang peduli penderita HIV/AIDS menyambangi gedung DPRD, kemarin (1/12). Mereka mempertanyakan komitmen pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif terhadap penanganan penyakit tersebut. “Kami akan menceritakan bagaimana keluhan-keluhan Odha (Orang dengan HIV/AIDS, red) selama ini. Kendala yang mereka hadapi demi kelangsungan hidup mereka. Kebanyakan dari mereka itu ibu rumah tangga dan anak-anak yang membutuhkan perhatian dari pemerintah,” tutur Koordinator Rumah Rampakpolah, Sri Laelasari. Beberapa persoalan muncul dalam penanganan HIV/AIDS. Untuk pengobatan awal misalnya, bagi Odha kurang mampu, kesulitan untuk membayar Rp400 ribu. Ini membuat psikisnya kian tertekan sehingga mereka enggan berobat. Sebab, selain untuk membayar biaya pengobatan mereka juga membutuhkan uang untuk ongkos perjalanan. “Satu sisi mereka sedang tertekan karena penyakitnya. Kemudian merasa dikucilkan dan tidak lagi bisa bekerja mencari nafkah. Persoalan-persoalan inilah yang membutuhkan pemikiran semua pihak,” ungkapnya saat menunggu giliran masuk ruang kerja ketua DPRD. Di samping pendampingan untuk mempertahankan semangat hidup, lanjutnya, dibutuhkan pula pemberdayaan agar mereka memiliki life skill. Selain itu, untuk biaya pengobatan dibutuhkan kelonggaran dalam iuran BPJS hingga digratiskan. Karena tidak semua Odha itu tertular akibat perilaku negatif. “Seperti saya katakan tadi, Odha itu kebanyakan ibu rumah tangga yang tertular oleh suaminya. Banyak juga anak-anak yang mereka sama sekali tidak berdosa. Jadi, mereka sangat memerlukan perhatian,” ucapnya. Sekarang ini saja, kata Sri, terdapat 18 Odha yang masih anak-anak. Mereka harus tetap sekolah yang sudah barang tentu membutuhkan biaya. Sementara mereka yatim piatu karena kedua orang tuanya telah lama mengidap HIV/AIDS hingga meninggal. Atau ada pula Odha yang masih anak-anak merahasiakannya dari orang tua mereka. “Mereka itu curhatnya ke kita (Rampakpolah, red). Sedangkan kita hanya mengandalkan dari pengumpulan seribu koin atau upaya-upaya lainnya. Kan kasihan kalau tidak ada sinergitas dengan pemerintah. Terkadang mereka yang pelajar itu tidak mau terdaftar sebagai Odha di sekolahnya karena malu konsekuensi pengucilan,” paparnya. Secara psikis, kaum Odha tidak punya semangat tinggi untuk hidup. Pendampingan di sini sangat dibutuhkan. Untuk itu, pemerintah perlu bersinergis dengan komunitas-komunitas relawan Odha. Petugas kesehatan pun harus gencar menyosialisasikan agar Odha tetap nyaman di masyarakat tanpa pengucilan. “Soal anggaran Rp125 juta dari APBD, kami nggak tahu itu dialokasikan untuk apa dan untuk institusi apa. Yang jelas, angka segitu dinilainya masih kurang jika dibandingkan dengan bahaya HIV/AIDS,” tandas Sri. Sementara, Asep Susan Sonjaya dari KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) ikut menambahkan, ketika bicara HIV/AIDS maka begitu kompleks. Bukan hanya sekadar wilayah penanganan, tapi juga menyangkut psikososial dan psikoekonomi. Perlu adanya perubahan mindset, di mana tugas tersebut bukan hanya sekadar Dinas Kesehatan semata. “Satu contoh untuk tes virus di dalam tubuhnya, itu membutuhkan biaya besar karena harus ke RSHS. Ketika dibawa ke RSHS, muncul kendala-kendala lainnya. Lalu, para Odha yang tidak bekerja atau yatim piatu, ini berkaitan dengan ekonomi. Nah secara sosialnya, mereka dihadapkan pada stigma atau pengucilan dari masyarakat,” ungkapnya. Dia menyebut, dari total 260 penderita di Kuningan, kini tinggal 108 Odha yang masih hidup. Dari 108 orang tersebut, sebanyak 90 orang yang rutin menjalani terapi. Penderita HIV/AIDS, menurut dia, seperti fenomena gunung es. Sewaktu-waktu bisa meledak seperti bom waktu jika tidak ditanggulangi secara maksimal. Asep menyebutkan, jika dilihat dari data, sejak 2013 grafik jumlah penderita mengalami kenaikan. Mulai dari 43 kasus pada 2013, naik jadi 54 kasus pada 2014, hingga 2015 ditemukan 55 penderita meskipun baru sampai Oktober. “Itu yang teregistrasi, mungkin saja masih ada yang belum teregistrasi,” sebutnya. Sebelum mendatangi gedung dewan, para aktivis tersebut sempat mengikuti acara sederhana di pendopo. Sebagai testimoni, salah seorang Odha perempuan berusia 40 tahun memaparkan harapannya di hadapan para kepala SKPD. Ibu beranak tiga yang masih kecil-kecil itu mengaku tertulari HIV/AIDS dari suaminya yang kini sudah meninggal. “Saya harus tegar untuk tiga anak saya. Yang paling besar kelas 6 SD, ada yang kelas 3 SD dan yang bungsu masih umur 3 tahun. Untuk mencukupi kebutuhan hidup kami, saya membuka warung sekaligus mengajar di PAUD,” ungkap ibu muda yang kebetulan ikut serta mendatangi gedung dewan. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: