Tunda Penentuan Revisi RUU KPK
JAKARTA- Rapat Paripurna DPR menunda keputusan untuk memasukkan rancangan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam RUU Prioritas Prolegnas 2015. Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah kemarin memutuskan untuk mengundur jadwal paripurna pada Selasa (15/12) pekan depan karena tak memenuhi kuorum. Dari 559 anggota, hanya 144 yang hadir. Selain rancangan revisi UU KPK, rencananya paripurna tadi malam juga akan menentukan masuknya RUU Pengampunan Pajak dalam prioritas legislasi tahun ini. Upaya memasukkan rancangan revisi UU KPK itu memang tinggal menunggu waktu. Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu menyebutkan, draf RUU KPK sudah ada di Badan Lesgislasi. Ada beberapa poin yang telah disepakati oleh pemerintah dan KPK. Yakni, perlu adanya dewan pengawas KPK, kewenangan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), dan pengaturan tentang mekanisme penyadapan. ”Penyadapan itu dilakukan dengan mekanisme pengaturan,” tuturnya. Terkait dengan penyadapan, nantinya langkah itu dapat dilakukan tanpa perlu adanya izin pengadilan terlebih dahulu. “Jika memang dianggap penting untuk disadap dan harus dilaporkan 1x24 jam,” tuturnya. Namun masih ada opsi izin melalui dewan pengawas. Kedua pilihan tersebut akan masuk tahap pembahasan. Wakil Ketua Badan Legislasi Firman Subagyo menyebutkan bahwa draf dan naskah akademik sudah diserahkan oleh Komisi III sebagai pengusul. “Tapi revisi yang terbaru belum diberikan. Jadi kita belum megang apa-apa,” jelasnya. Meski demikian, pihaknya menyebutkan bahwa revisi ini masih memerlukan waktu tambahan. “Kemungkinan akan dibawa ke dalam prolegnas 2016 nanti,” ungkapnya. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan kengototan merevisi UU KPK sebenarnya bukan hanya datang dari DPR. Pemerintah selama ini juga tidak memiliki sikap tegas menolak pembahasan RUU KPK atau mengeluarkan rancangan ini dari Prolegnas 2014-2019. Terakhir, Menkopolhukam Luhut Panjaitan setuju revisi dengan empat isu krusial. Yakni, mengenai Dewan Pengawas KPK, pengangkatan penyelidik atau penyidik internal, kewenangan penghentian penyidikan dan pengaturan penyadapan. “Pemerintah mengklaim empat isu itu juga disetujui KPK,” terang Lalola. Menurut dia, publik harus berani bersama-sama menolak revisi UU KPK tersebut. Alasan utamanya revisi itu tidak memperkuat posisi KPK. Yang ada justru sebaliknya, mengurangi sejumlah kewenangan. Antara lain, KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp50 miliar ke atas. Pelemahan lainnya ada pada kewenangan penyadapan yang harus diikuti dengan izin ketua pengadilan negeri. Bisa dibayangkan bagaimana potensi kebocoran informasinya jika penyadapan harus izin terlebih dulu. ICW juga melihat percepatan RUU KPK merupakan barter dengan regulasi lain. Salah satu yang dibarter ialah percepatan RUU RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang merupakan usul inisiatif pemerintah. Dengan batas waktu pembahasan yang mepet (jika masuk Prioritas Prolegnas 2015), kemungkinan DPR tak akan banyak mengakomodir keinginan KPK sebagai pelaksana undang-undang. Yang ada justru DPR akan menyetujui begitu saja draf yang sejak awal memang diseting untuk melemahkan KPK. “Kami curiga percepatan revisi ini upaya balas dendam pihak-pihak yang terganggu dengan kerja KPK dalam memberantas korupsi,” ujar perempuan yang akrab disapa Lola itu. Bahkan, banyak pihak menduga bahwa usulan Revisi UU KPK merupakan titipan para koruptor atau pihak-pihak yang selama ini berpotensi menjadi tersangka KPK. Dugaan itu cukup beralasan karena banyak politisi di DPR tidak menyukai keberadaan KPK. Dalam catatan ICW, terdapat sedikitnya 82 politisi dari berbagai Partai Politik yang dijerat oleh KPK. Sejumlah kasus yang belum dikembangkan KPK juga ditengarai mengarah ke sejumlah politisi yang kini duduk manis di DPR. (gun/lus/sof)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: