Draft Perbatasan Tidak Bisa Dicabut
KEJAKSAN– Penandatanganan yang dilakukan Walikota Cirebon Drs Nasrudin Azis SH dan Bupati Cirebon Drs Sunjaya Purwadisastra MM menjadi kesepatan bersama. Karena itu, secara kajian hukum draf perbatasan itu tidak dapat dicabut kembali. Kecuali kedua pihak menyetujui langkah tersebut. Bahkan, bila Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan sampai membatalkan, Bupati Cirebon Drs Sunjaya Purwadi dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pengamat hukum, Agus Dimyati SH MH mengatakan, dengan tandatangan dari kedua pihak, menunjukan ada kesepakatan tertulis. Karena itu, persetujuan tersebut kategori perbuatan hukum yang mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian draf perbatasan yang diajukan tidak mungkin dicabut kembali. “Gubernur kalau salah langkah bisa di-PTUN-kan,” ucapn Agus, kepada Radar, Selasa (19/1). Karena itu, dia berpesan kepada Walikota Nasrudin Azis untuk lebih berhati-hati dalam mengambil setiap kebijakan. Terlebih dengan membubuhkan tanda tangan. Sebab, bila sudah ada tanda tangan dari walikota-bupati, dampak yuridis serta merta timbul dan mengikat secara kuat akibat pembubuhan tanda tangan tersebut. Meskipun masih dalam bentuk draf perbatasan, itu merupakan fase penting ada pada penandatanganan kedua pihak. Bila ingin mencabut draft tersebut, walikota harus membujuk bupati agar mau memberikan persetujuannya. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan politis kedua daerah. Kecuali ditemukan bukti baru bahwa penandatanganan draf perbatasan yang dilakukan walikota, dalam kondisi tertekan. Dengan demikian, penandatanganan draf perbatasan menjadi tidak sah dan batal demi hukum. “Azis harus dapat membuktikannya,” ucapnya. Selama ini, Azis menyebutkan persoalan perbatasan seolah karena keinginan gubernur atau menteri dalam negeri. Bila itu dapat dibuktikan secara yuridis, bisa menjadi pertimbangan untuk pembatalan draf perbatasan yang telah diajukan. Berbeda halnya pendekatan pembatalan draf perbatasan secara politik. Hal itu lebih mudah dilakukan. Misalnya, Bupati Sunjaya menyadari demi kepentingan lebih luas kesepakatan dibatalkan. Pendekatan politik, jauh lebih baik dibandingkan pendekatan hukum dengan aturan jelas dan tegas. Seharusnya, sebelum melakukan kebijakan yang sangat penting dan strategis seperti perbatasan, kedua pihak menggandeng tokoh masyarakat, instansi terkait dan akademisi. Kalau draft perbatasan sudah resmi dibatalkan, kedua daerah bisa membuat kajian baru dengan pelibatan seluruh elemen terkait. Pendekatan menentukan perbatasan dapat dilakukan dengan dua teori. Yaitu kartometrik atau metode telusur dokumen fakta dan survei lapangan. Agus menilai penggabungan kedua teori itu akan lebih baik. Dimana, dalam menentukan titik koordinat dilakukan dengan data dokumen dan survei lapangan. Jika itu dilakukan, persoalan perbatasan dapat selesai dan tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Direktur Pascarsarjana Unswagati, Dr Endang Sutrisno SH MHum mengatakan, tim mediator dapat terdiri dari berbagai kalangan. Mulai dari tokoh masyarakat yang memahami sejarah historis perbatasan, instansi terkait seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan akademisi untuk kajian hukum dan kebijakan publik agar sesuai dengan tatanan aturan. Dengan keberadaan mediator, kesepakatan yang terjadi antara kedua daerah dapat menjadi pegangan dan tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Catatan penting lainnya, ujar pria berkacamata ini, masyarakat perbatasan harus dilibatkan secara aktif. Sebab, pada prinsipnya mereka yang paling merasakan dampak dari kebijakan dua daerah yang bersengketa. “Datangkan gubernur sebagai mediator,” tukas Endang Sutrisno. Membahas perbatasan tidak akan selesai dengan cepat. Butuh waktu sekitar enam bulan sampai setahun. Tetapi, hasil yang disepakati menjadi pegangan dari generasi ke generasi berikutnya. Semua tercatat dalam sejarah tinta emas. Endang menegaskan, draf perbatasan yang telah diajukan atas kesepakatan bersama, tidak dapat dicabut kembali kecuali atas keinginan kedua belah pihak. Dari dimensi hukum, kesepakatan yang telah diresmikan dengan tanda tangan kedua kepala daerah, sudah masuk didalamnya hak dan kewajiban. Sekalipun bentuknya masih draf, tidak serta merta Pemkot Cirebon mencabutnya kembali. “Substansi kesepakatan sudah ada. Kalau mau membatalkan, Bupati Cirebon harus memberikan persetujuan,” terangnya. (ysf)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: