Si Cantik, Satu-satunya Komandan Perempuan Tanker Pertamina
KERTAS warna-warni yang biasa digunakan untuk pesta masih tertempel di langit-langit ruang makan kru kapal tanker MT Merbau. Goyangan kapal karena empasan ombak masih terasa begitu duduk di ruangan dengan satu televisi besar itu. DHIMAS GINANJAR, Cilegon ’’Ini habis ada pesta ulang tahun saya. Hahaha… gaya banget ya, nama Agustin, tapi ulang tahun Februari,’’ kelakar Kapten Agustin Nurul Fitriyah. Sembari mempersilakan duduk, dia lantas menyebut dekorasi itu sisa perayaan Natal dan tahun baru. Saat kapal berlabuh di kawasan Pelabuhan Merak, Serang, pekan lalu, para kru belum sempat membereskan sisa perayaan tersebut. Kapal dengan kapasitas bahan bakar minyak (BBM) 3.500 metrik ton (MT) tersebut bersandar untuk mengisi minyak putih. Agustin menyatakan, minyak putih adalah sebutan untuk premium dan solar. Sejak resmi menjadi nakhoda pada 2013, Agustin merupakan satu-satunya komandan perempuan tanker Pertamina. Tiap 7–9 bulan dia harus bertugas di kapal berbeda. Penugasan menakhodai MT Merbau yang sekarang ini saja sudah yang keempat. Dia mengomandani kembali Merbau sejak Oktober 2015. Setelah membiasakan diri dengan goyangan di kapal, Agustin mengajak ke anjungan. Tempat dia biasa bekerja sehari-hari tersebut terletak di atas ruang makan. Cuaca yang tidak bersahabat pada siang itu membuat ombak makin keras dan goyangan kian terasa di anjungan. ’’Makin ke atas lebih terasa. Kalau di ruang mesin, lebih tenang,’’ kata perempuan berjilbab itu. Ada 26 orang di kapal sepanjang 89,9 meter tersebut. Selain Agustin, ada satu awak kapal lagi yang perempuan. Sisanya laki-laki semua. Dominasi kaum adam itulah yang membuat karir Agustin sempat tidak disetujui orang tua. Apalagi latar belakang keluarganya merupakan polisi dan tentara. Namun, dia punya prinsip, anak sebisa-bisanya tidak mengikuti pekerjaan orang tua sebelumnya. Perempuan yang berulang tahun tiap 17 Agustus itu ingat betul. Saat lulus SMA pada 1999, belum ada tes masuk Akabri untuk perempuan. Orang tua lantas memintanya menjadi dokter. ’’Tapi, itu nggak mungkin karena kondisi sosial ekonomi saat itu. Apalagi masih ada adik,’’ kenang perempuan asal Jember, Jawa Timur, itu. Tiba-tiba ada seniornya yang pulang dari Jepang. Agustin kepo dan mencari tahu apa yang membuat si senior tersebut sampai ke Negeri Sakura. Setelah tahu profesinya sebagai pelaut, dia lantas mencari tahu di mana belajarnya. Akhirnya, dia meminta kepada orang tua untuk meneruskan kuliah ke sekolah pelayaran di Semarang. ’’Tapi, nggak langsung dibolehin jadi pelaut karena cowok semua. Khawatir saya nggak bisa bedakan, nggak bisa pakai lipstik,’’ ujarnya, lantas tertawa. Namun, Agustin telanjur berkomitmen ingin mendapatkan pekerjaan yang berbeda dengan orang tua. Berbekal janji memberangkatkan haji kalau sudah sukses, restu orang tua akhirnya turun. Saat itu dia belum kepikiran untuk menjadi nakhoda. Agustin hanya mencoba enjoy menjalankan pekerjaan yang didapatnya setelah meraih gelar S-1 pelayaran. Nah, ketika menjadi mualim III pada 2004, dia berkesempatan memegang kemudi kapal. ’’Saat itu perasaannya bangga. Keren banget ternyata,’’ ungkapnya. Tiga tahun kemudian, saat berpangkat ahli nautika tingkat II, dia mulai bergabung dengan Pertamina. Bergabung dengan BUMN energi membuatnya berkesempatan bertemu dengan Karen Agustiawan, Dirut Pertamina saat itu. ’’Kata Bu Karen, ayo dicoba untuk jadi nakhoda,’’ ingatnya. Ucapan tokoh yang masuk Asia’s 50 Power Businesswomen versi Forbes pada 2011 itu menjadi pelecut semangat. Apalagi Agustin saat itu sudah menjadi mualim I. Posisi yang belum pernah dijamah perempuan untuk lingkup Pertamina. Tapi, harapan menjadi nakhoda sempat luntur ketika dia dipindah dari kapal ke kantor pada 2013. Ternyata, jalan menjadi orang nomor satu di kapal tanker Pertamina justru terbuka saat itu. Ada kapten senior yang menanyakan kepada dia apakah berani menjadi nakhoda. ’’Saya bilang siap. Segala tes untuk menguji kemampuan mengenal kapal mulai hal sepele sampai besar saya lalui,’’ terangnya. Meski semua tes berhasil dilewati, dia sempat tidak percaya diri. Sebab, menjadi kapten kapal tanker merupakan pekerjaan yang laki banget. Tapi, ternyata dia lulus dan dipercaya menjadi nakhoda. Sampai tibalah kesempatan menakhodai kapal Pertamina untuk kali pertama. Agustin mengaku sangat deg-degan ketika itu. Meski pernah mengarahkan kapal tanker, menjadi nakhoda benar-benar berbeda. Dia sampai bingung menggambarkan suasana hatinya. ’’Ibarat naik mobil, saya tahu bisa nyetir. Tapi, gimana ya…?’’ katanya. Petualangan Agustin pada tahun pertama menjadi nakhoda juga membawa beban berat. Sebab, dia harus membuktikan bahwa nakhoda perempuan sama tangguhnya dengan laki-laki. Ujian itu lantas datang sekitar Januari 2014 ketika dia melakukan pelayaran ke Tanjung Uban, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Saat itu arus sangat kencang. Seorang kawan dari kapal lain mengabarkan, kekuatan arus bisa menyeret sebuah kapal sampai membentur kapal lain. ’’Kalau saya kandas, perempuan-perempuan lain di belakang saya bisa jadi tidak akan mendapat kesempatan menjadi nakhoda,’’ tuturnya. Pengalaman mendebarkan lainnya, kapal yang dibawanya pernah mengeluarkan api dari cerobong. Itu terjadi ketika Agustin melakukan perjalanan dari Situbondo ke Makassar. Dia mengenang bagaimana awal mula api terlihat. Dia pun langsung bereaksi meminta mesin dimatikan. Sikap sigap Agustin membuat bahaya itu bisa diatasi. Bisa dibayangkan kalau kapal yang masih membawa bahan bakar tersebut tiba-tiba meledak karena Agustin tidak sigap. Selebihnya, selama perjalanannya dari Sabang sampai Merauke, tidak ada yang disebutnya membahayakan. Bagaimana dengan perompak? Penggemar novel kolosal itu mengaku belum pernah menemui. Meski, dia tahu, kapal tanker paling diincar karena dianggap mahal. ’’Saya nggak takut sih, tapi semoga nggak ketemu,’’ katanya. Sebenarnya banyak cerita saat dia bertugas. Namun, Agustin berusaha sebisa-bisanya tidak bercerita kepada orang tua. Dia khawatir mereka yang di darat waswas. ’’Saya suka di laut. Sukanya buanyak. Tapi, nggak bisa cerita karena orang tua suka khawatir siapa yang mengurus saya,’’ tambahnya. Salah satu yang membuat Agustin mencintai profesinya adalah melihat luasnya tanah air. Favoritnya adalah daerah Sabang (Aceh) dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). Alasannya sederhana, saking bagusnya, kalau difoto pakai kamera terjelek, hasilnya masih tetap bagus. Tapi, di sisi lain, pekerjaan itu juga tak jarang menyayat hati. Terutama saat mengantar BBM ke daerah yang masih tertinggal. Misalnya, di Natuna, Riau, yang masih banyak tempat gelap. Begitu juga warga Reo, Kabupaten Manggarai, NTT. Saat malam sangat gelap karena energi hanya cukup untuk siang. Ada juga tempat yang sulit dijangkau kapal pemandu ketika cuaca buruk. VP Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro menyebutkan, distribusi BBM di Indonesia itu terumit di dunia. Sebab, distribusi melibatkan transportasi darat, laut, sampai udara untuk menyalurkan 63 juta kiloliter (kl) BBM tiap hari. Di Sumatera dan Kalimantan, perlu menembus sungai dengan berbagai jenis kapal. Sementara itu, di Papua, banyak tempat yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat udara. Kapal menjadi andalan untuk menghubungkan distribusi antarpulau. Saat ini jumlah kapal tanker yang dimiliki Pertamina mencapai 270 unit. Wianda menyatakan, perbedaan distribusi antara Jawa dan pulau lain bak langit dan bumi. ’’Di Kalimantan lebih menarik. Setelah ke tangki, BBM dimasukkan ke drum, lalu ke longboat untuk dikirim ke APMS (agen premium dan minyak solar),’’ jelasnya. Sesuai dengan aturan, sebenarnya nakhoda boleh menolak sandar kalau membahayakan. Tapi, dia kerap tidak sampai hati kalau ada telepon yang menyatakan kondisi darurat. ’’Kami tidak bisa begitu. Apalagi kalau ada telepon penting dan bilang kalau tidak bersandar, (listrik, Red) akan mati semua,’’ ungkapnya. Karena jam terbangnya sebagai nakhoda, Agustin sempat berkelakar dengan para kolega: siap menjadi Dirut Pertamina karena tahu tempat mana saja yang butuh BBM. Meski bekerja di lingkungan yang laki banget, Agustin tetap melakukan hal-hal menyenangkan seperti perempuan kebanyakan. Misalnya, pergi ke salon saat kapal bersandar. Saat ini dia juga sedang menghabiskan novel Rules of Engagement karya Christina Dodd. ’’Kalau ke darat, saya pasti beli buku. Ada anggaran sendiri untuk itu,’’ katanya. Janji memberangkatkan haji orang tua telah pula dipenuhinya pada 2010. Juga, telah menyelesaikan S-2 manajemen transportasi laut di Trisakti. Kini dia berencana melanjutkan ke S-3. Mimpi lain ke depan, dia bisa membawa kapal gas ke jalur luar negeri. Yang juga diimpikannya: ada perempuan-perempuan lain yang bisa mengikuti jejaknya. (*/c5/ttg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: