Eks Gafatar Majalengka Ini Ingin Kembali ke Kalimantan
LIGUNG – Desa Kedungsari kembali menerima enam orang eks anggota organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Menyusul kedatangan Suwandi (45) dan istrinya Juriah (40), bersama tiga anaknya Sugianto (17), Nurohim (14) dan Siti Umaenoh (8). Mereka tiba di kediaman orang tuanya RT 02 RW 03 setelah diantar Dinsosnakertrans Majalengka, Senin (29/2) malam sekitar pukul 20.00. Sekdes Kedungsari M Maksum menjelaskan, dari enam orang tersebut satu diantaranya sudah pulang terlebih dahulu yakni Rusnita yang dijemput langsung oleh orang tuanya Mukaya di Jakarta. Sedangkan lima orang lainnya baru tiba kemarin malam. “Mereka semua berangkat sejak dua tahun kebelakang dan mengurus surat pindah. Tetapi bagi keluarga Suwandi memang belum mengurus surat kepindahan karena awalnya berdomisili di Kabupaten Cirebon,” kata Maksum. Sementara itu, Suwandi bersama Rusnita menceritakan pengalaman mereka saat berada di tanah rantau. Selama dua tahun Suwandi bekerja di bidang pertanian di Ternate, Maluku Utara. Selama itu dirinya menjadi pelopor pertanian dan telah menggarap lahan pertanian sampai ke Halmahera Barat, yang merupakan tanah milik Sultan. “Disana kami menggarap sampai 10 hektare dibantu dengan tenaga lain dari Jawa dan sejumlah daerah lainnya. Tanah disana betul-betul masih perawan, karena sama sekali belum pernah tersentuh tanaman apapun,” tuturnya kepada Radar Selasa (1/3). Bahkan almarhum Sultan Ternate juga telah mempekerjakan dirinya sebagai orang penting dalam mengelola ketahanan pangan di wilayah tersebut. Setelah dua tahun itu, dia bertolak ke Kalimantan Barat. Disana dia menggarap lahan seluas 10 hektare sendiri. “Kalau tidak ada gejolak ini, beberapa minggu kedepan padi dan sayuran seperti tomat, semangka, jagung serta tanaman lainnya sudah mulai panen. Disana kehidupan kami sekeluarga benar-benar sangat bermanfaat baik bagi alam maupun masyarakat sekitar. Tapi kenapa kami malah dikaitkan dengan Gafatar. Padahal disana bekerja menggarap lahan milik masyarakat yang luasnya lebih dari 30 hektare,” tuturnya. Mereka mengaku akan kembali lagi ke tanah rantau Kalimantan untuk melanjutkan pengelolaan lahan yang dianggap kondisi tanahnya sangat bagus. Dengan hanya menaruh sebatang singkong saja, maka akan mengakar dan berbuah. “Batang singkong saja hanya ditaruh dan tiga bulan kemudian berbuah sangat besar. Tanah disana benar-benar jauh berbeda dengan di kita. Apalagi sukses kami membangun ketahanan pangan disana yakni menanam sayuran di tanah pasir putih yang sudah menanen hasilnya beberapa kali,” tegasnya. Pola tanam dan bagi hasil keuntungan panen yaitu pemilik tanah hanya mendapat 20 persen. Sedangkan 80 persen lainnya pada tahap panen perdana murni untuk dibagikan kepada seluruh masyarakat setempat. Berbeda dengan cerita Rusnita yang berada di Kampung Tanah Merah, Samarinda. Selain bercocok tanam, dia juga menyediakan jasa servis elektronik. Satu kampung itu hanya dirinya yang menggeluti profesi tersebut. “Maaf kalau saya katakana orang-orang disana masih belum menguasai segala bentuk apapun. Baik dari cara bertani apalagi menggeluti bidang elektronik. Kalau jasa saya sedang dibutuhkan, maka berapapun ongkos membetulkan peralatan elektronik dibayar tanpa menawar sedikitpun. Kami disana benar-benar sedang usaha,” kata Rusnita yang mengaku akan menikah dengan orang Padang ini. (ono)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: