Senator Jabar Tanggapi Isu Pembubaran DPD
JAKARTA – Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dari daerah pemilihan Jawa Barat, Dra. Ir. Hj. Eni Sumarni M.Kes, menilai wacana pembubaran DPD-RI adalah sebuah langkah kemunduran konstitusi. Menurutnya, DPD-RI memiliki urgensi tinggi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Selain itu, kata Eni, DPD juga merupakan salah satu urgensi tinggi dalam sistem parlemen di Indonesia. “DPD merupakan wakil dari daerah yang mampu menjadi penyeimbang atau kamar kedua dalam penguatan sistem parlemen di Indonesia,” kata Eni Sumarni, Jumat (11/3). Satu-satunya senator wanita yang mewakili Jawa Barat ini mengatakan, hampir semua analisis membenarkan DPD-RI sangat urgen, jika dilihat dari historisnya. Kata Eni, DPD mengganti keberadaan utusan daerah yang telah ada sebelumnya. “Jika dilihat dari ketatatanegaraan, DPD juga hadir untuk menguatkan sistem parlemen dalam proses legislasi dan pengganti utusan daerah lahir dari rahim reformasi dan dilindungi secara konstitusi,” tuturnya. Eni menambahkan, kewenangan DPD yang terbatas membuat kinerja tidak maksimal. Namun, itu juga tergantung pada personal anggota DPD masing-masing dalam membuat sebuah formulasi dalam pelaksanaan kinerja, baik pada bidang legislasi, pengawasan ataupun pertimbangan. Dia mengungkapkan, isu pembubaran DPD bukan hanya saat ini saja mencuat. Isu pembubaran DPD sudah lama terdengar. Kata Eni, teriakan atas pembubaran DPD berasal dari masyarakat daerah atau hanya segelintir orang saja, tanpa diketahui suara pembubaran DPD berasal dari personal atau lembaga. “Jika DPD sebagai penghalang dalam sistem ketatanegaraan dan harus dibubarkan apa jaminannya? Apakah tanpa DPD negara akan lebih baik dan mampu membuat masyarakat Indonesia sejahtera?” katanya bertanya-tanya. Eni menjelaskan, perubahan sistem tata negara dari satu kamar menjadi dua kamar, dikarenakan untuk memperkuat proses legislasinya. “Tetapi sistem kita tidak menyokong itu. Sistem kita dua kamar tetapi secara struktur tidak mendukung hal tersebut. DPD mendapat porsi yang sangat kecil mengenai kewenangannya. Kemudian, apakah DPD sudah proporsial untuk mewakili daerahnya? Karena ukurannya bukan jumlah penduduk, tapi setiap provinsi diwakili empat orang saja. Jika dikaji, tentu belum proporsional dikarenakan setiap provinsi beda jumlah penduduk dan jumlah kabupaten atau kota,” tuturnya. Eni menegaskan, wacana pembubaran DPD harus dikaji lebih matang, apakah wacana itu mengandung muatan politis atau permasalahan ketatanegaraan dan hukum. Karena, kata Eni, jika DPD dibubarkan, adalah langkah mundur dalam sistem parlemen di Indonesia. Apabila mau membandingkan, lanjut Eni, masih banyak lembaga-lembaga negara yang kurang produktif, baik dari kewenangan ataupun out put yang dihasilkan. “Hal ini yang harus menjadi perhatian semua. Dengan adanya lembaga-lembaga negara pasca reformasi, jadi jangan hanya DPD yang harus mendapat kritik kaitanya dengan kewenangannya,” ujarnya. Padahal, dengan dibentuknya DPD bertujuan membangun kerja sama dan penguatan antar lembaga parlemen dalam proses legislasi dalam sistem tata negara di Indonesia. “Kemudian langkah yang harus ditempuh untuk membubarkan adalah harus dilakukan perubahan atas UUD 1945, dan hal itu tidak mudah dan gampang, dimana di dalam UUD 1945 dikatakan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD,” pungkasnya. (naz)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: