Kak Seto Sedih Lihat Polusi Batubara di Kota Cirebon
CIREBON - Kehadiran Dr Seto Mulyadi PSi MPSi sebagai ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak di Cirebon dimanfaatkan sejumlah elemen untuk menyampaikan keluhan yang selama ini belum terespons cepat oleh pemerintah. Santa Maria contohnya. Mereka “curhat” terkait dampak aktivitas bongkar muat batubara yang mengganggu pernafasan para siswa dan guru. Rasa aneh dan heran pun muncul di benak Kak Seto. Saat semua gencar mengampanyekan lingkungan yang ramah terhadap anak, di Cirebon justru menghadapi masalah seperti ini. \"Saya sangat terkejut melihat ini, rupanya sudah lama ya. Ini jauh dari kekerasan, tetapi kekejaman terhadap anak,\" tegas Kak Seto dalam kunjungan, Rabu (16/3). Baginya, fakta ini menunjukkan ketidakpekaan pemimpin mengenai kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak. Ini pelanggaran HAM berat dengan membiarkan anak-anak menderita penyakit akibat bertebarannya debu batubara. \"Kalau sampai tidak ada kepedulian, berarti paradigma mengenai anak tidak perlu mendapatkan perhatian masih banyak mewarnai para orang dewasa termasuk para pemimpin kita,\" katanya. Menurutnya, kondisi lingkungan yang tidak ramah ini sangat merusak untuk jangka panjang anak-anak di masa akan datang. Salah satu dampak dari batubara adalah kerusakan paru-paru yang mengganggu aktivitas anak-anak. \"Gak habis pikir, kok tidak ada reaksi sama sekali? Cirebon kok sepi-sepi saja?\" tanyanya. Ia mengharapkan adanya tindakan tegas dari pemerintah daerah agar semua permasalahan ini bisa diselesaikan dengan baik. Setelah melihat langsung ke Pelabuhan, Kak Seto pun akan segera meninjaklanjuti masalah ini ke menteri terkait, bahkan presiden. Ia pun berjanji sampai di Jakarta akan berkoordinasi dengan semua pihak untuk mengambil keputusan yang paling jelas. \"Terima kasih dengan adanya laporan ini akan segera ditindaklanjuti,\" katanya. Sementara itu, tinjauan Kak Seto ini diawali dari laporan dr Muljani, salah seorang warga Kelurahan Panjunan yang peduli terhadap kesehatan anak-anak. Dr Muljani membeberkan bukti pencemaran lingkungan dari batubara serta dampak terhadap kesehatan anak-anak. \"Salah satunya paru-paru hitam,\" katanya. Dijelaskan dr Muljani, paru-paru hitam adalah suatu penyakit paru-paru yang disebabkan karena menghirup debu batubara dalam jangka panjang. Penyakit ini dikenal juga dengan sebutan pneumokoniosis pekerja batubara, dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu simplek dan komplikata. Tipe simplek biasanya bersifat ringan, sedangkan komplikata bisa berakibat fatal. \"Pada tipe simplek, serbuk batubara berkumpul di sekeliling bronkiolus dan serbuk batubara akan menyebar ke seluruh paru-paru,\" katanya. Sedangkan untuk tipe komplikata atau kompleks, walaupun serbuk batubara tidak akan menyumbat saluran nafas, tetapi setiap tahunnya antara 1 sampai 2 persen penderita paru-paru hitam simplek akan berkembang menjadi bentuk penyakit yang lebih serius. Atau, dikenal sebagai fibrosis masif progresif. \"Meskipun sudah tidak lagi terjadi pemaparan debu batubara, tetapi akan semakin memburuk, bisa menimbulkan kerusakan pada jaringan dan pembuluh darah paru-paru,\" paparnya. Dikatakan dr Muljani, gejala paru-paru hitam di antaranya mudah sesak nafas. Adapun pengobatannya, menurut dr Muljani, tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit ini. \"Tetapi, adalah penting untuk menghindari pemaparan lebih lanjut,\" jelasnya. Terpisah, aksi penolakan atas aktivitas bongkar muat batubara terus berlanjut. RW 01 Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk masih terus bertahan agar aktivitas batubara ditutup total. “Kami tetap menolak bongkar muat batubara di Pelabuhan Cirebon,” kata Ketua RW 01 Jafar Sidik. Menurutnya, seluruh warga yang ada di RW 01 justru menyambut baik adanya surat dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang memerintahkan adanya penutupan bongkar muat batubara dalam waktu dekat ini. “Penutupan bongkar muat batubara di Pelabuhan Cirebon ini sudah sesuai dengan tuntutan warga. Karena selama ini kami telah dirugikan dengan debu batubara yang berterbangan hingga ke pemukiman penduduk. Kesehatan warga, terutama anak-anak pun menjadi terganggu,” jelasnya. Bahkan, pihaknya memastikan tidak akan menerima kompensasi dalam bentuk apapun. Jafar mempertanyakan kepedulian dari pengusaha batubara kepada warga justru saat pelabuhan akan ditutup. ”Dulu mereka sama sekali tidak peduli kepada kami,” tegasnya. Hal senada diungkapkan Sunarto. Pria yang berprofesi sebagai nelayan ini mengatakan, kompensasi 5 persen dari aktivitas bongkar muat batubara itu tidak pernah diterima. Jadi semua itu bohong. \"Artinya, selama ini kita dibohongi para pengusaha,\" ucapnya. Adanya aktivitas bongkar muat batubara, kata Sunarto, merugikan bagi para nelayan. Sebab, ikan yang berada di laut berkurang. Selain itu, kualitas air laut menjadi buruk. \"Biasanya kita cari ikan di pinggir laut itu bisa. Sekarang susah,\" tukasnya. Dia menambahkan, sampai kapan pun, pihaknya tetap menolak adanya aktivitas bongkar muat batubara di Pelabuhan Cirebon. \"RIP silakan berljalan. Tapi, tidak ada batubara,\" tandasnya. Sementara Ketua RW 05 Kenduruan, Kelurahan Panjunan, Zaki Mubarak mengaku saat ini dampak debu batubara yang selama ini merugikan masyarakat sudah tidak dirasakan sejak PT Pelindo dan KSOP pun melakukan upaya-upaya agar debu tidak berterbangan ke pemukiman penduduk. \"Memang awal kita mengeluh soal dampak debu batubara. Tapi, saat ini debu batubara sudah diminimalisasi. Kalau debu batubara muncul lagi, ya kita protes lagi,\" katanya. Ia mengaku, pihaknya sudah menerima kompensasi sebesar Rp4,5 juta yang diperuntukkan bagi warga RW 05. Uang itu akan digunakan untuk kepentingan masyarakat, baik untuk pembangunan maupun untuk program yang menunjang masyarakat. Warga RW 10 mendapat kompensasi sebesar itu dari perhitungan Rp500 dari setiap tonase. \"Dalam satu bulan, ada 300.000 ton batubara yang lalu lalang di Kota Cirebon. Dan disesuaikan dengan pendapatan dari pengusaha batubara,” pungkasnya. (nda/sam)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: