Perahu Tenggelam, Berenang Pulang 500 Meter

Perahu Tenggelam, Berenang Pulang 500 Meter

Di Tual, ke Sekolah Berarti Harus Bertaruh Nyawa Dalam sebulan, para pelajar di Tual yang berasal dari pulau lain rata-rata hanya bisa bersekolah sekitar dua pekan. Bergantung cuaca dan tinggi gelombang. Tapi, toh masih ada yang bisa jadi juara kelas. BAYU PUTRA, Tual DENGAN sedikit terengah-engah, mereka akhirnya bisa mencapai pantai Pulau Ubur. Tas tetap tersandar di punggung dua bocah perempuan itu. Basah kuyup tentu. Begitu pula dengan buku-buku di dalamnya. Jarak sekitar 500 meter baru saja mereka lintasi dengan berenang. Tapi, tak ada waktu bagi keduanya untuk lama-lama beristirahat. Bergegas keduanya menuju ke rumah untuk berganti baju. Begitu cuaca dirasa sudah bersahabat, dua bocah itu, Julfia Renwarin dan Julfina Renwarin, kembali bersiap. Tak ada perahu motor kali ini. Hanya perahu dayung yang kembali dikendalikan sang paman, Kimi Yebwerubun. Hari itu, Desember tahun lalu, dua pelajar kelas III SDN Ngadi tersebut akhirnya sampai juga ke sekolah mereka di Tual, Pulau Dullah, Maluku. Dengan baju bukan seragam dan tanpa buku yang masih harus dijemur. Tapi, tetap bersemangat sampai waktu pulang. Juga, bersenda gurau dengan teman di sela pelajaran dan jam istirahat. Seolah-olah yang mereka alami belum lama berselang hanya terpeleset di got atau tercebur comberan. Padahal, sejatinya mereka sudah sedemikian dekat dengan maut. Perahu motor yang dikendalikan sang paman tenggelam dihajar ombak. Kecakapan berenang Julia dan Julfina serta ketenangan Kimi yang akhirnya menolong mereka selamat sampai ke pantai lagi. “Ya, mau bagaimana lagi. Biar gelombang tinggi, mereka maunya tetap sekolah,” ucap Luthfi Renwarin, ayah Julia dan Julfina, yang menceritakan peristiwa mendebarkan yang dialami dua putrinya pada Desember lalu itu kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group). Bersekolah, bagi anak-anak Pulau Ubur, memang berarti bertaruh nyawa. Pulau mereka yang hanya dihuni 15 kepala keluarga itu tak punya sekolah. Jadilah, tiap hari mereka harus menyeberangi laut selama 15–20 menit ke Pulau Dullah. Itu kalau perahu motor. Kalau perahu dayung, perjalanan bisa setengah jam lebih. Dengan catatan, cuaca bagus dan arus tenang. Yang tak jarang terjadi, seperti yang dialami Julia, Julfina, dan Kimi pada Desember lalu itu, saat berangkat cuaca bersahabat. Tapi, di tengah laut tiba-tiba berubah ganas. Pulau Ubur adalah satu di antara lebih dari 15 pulau yang secara administratif masuk Tual. Kota tersebut dahulu ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara. Tapi, sejak 2007 berdiri sendiri. Tual berada di Pulau Dullah. Jumlah sekolah di sana sudah cukup banyak. Berdasar data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Tual berdiri 85 sekolah negeri dan swasta. Terdiri atas 49 SD, 19 SMP, 11 SMA, dan 6 SMK. Sekolah-sekolah itu melayani 8.353 siswa SD, 3.956 siswa SMP, 3.082 siswa SMA, dan 1.017 siswa SMK. Totalnya 16.408 siswa. Mereka dididik sekitar 900 guru, baik PNS (pegawai negeri sipil) maupun non-PNS. Saat ini ada 15 anak Pulau Ubur yang bersekolah di Tual. Kadang mereka berangkat bersama. Satu perahu bisa diisi sepuluh anak. “Tapi, kalau gelombang sedang tinggi, satu perahu diisi tujuh anak,” lanjut Luthfi yang berprofesi nelayan itu. Luthfi mengaku sangat sering khawatir dengan keselamatan dua putrinya. Namun, dia tak kuasa melarang mereka berangkat karena semangat Julia dan Julfina mengais ilmu tinggi sekali. “Biar nggak ketinggalan pelajaran,” tambah Julfina yang mendampingi sang ayah ketika bertemu Jawa Pos di Tual pada Jumat tiga pekan lalu (11/3). Tak jarang, Julia, Julfina, dan kawan-kawan sepulau harus berangkat sendiri tanpa kawalan orang tua atau kerabat mereka yang sudah dewasa. Adalah Irhan Tamnge yang mengambil bagian. Siswa kelas IV SDN Ngadi itu memimpin kawan-kawannya menyeberangi pulau. Sebagai “kapten kapal” yang total dinaiki sepuluh orang, Irhan  menjadi pengendali mesin perahu. Salah seorang kawannya, Muslim Rumahsukun, dia tugasi menguras air yang masuk ke perahu. Sedangkan delapan kawan lain diminta menjaga keseimbangan perahu. Nah, suatu hari di bulan yang sama dengan tenggelamnya perahu motor yang dinaiki Julia dan Julfina, Irhan mengaku kapalnya juga pernah dihajar gelombang tinggi. Sepatu Muslim yang belum dipakai terempas ke lautan dan hanyut. Untung, mereka tetap bisa tiba di sekolah dengan selamat.  “Pernah pula perahunya terbalik,’’ ujar Irhan. Tidak jarang pula, minyak habis di tengah laut sehingga mesin perahu mati. Alhasil, mereka harus bergantian mendayung untuk tiba di seberang. Marieta Renwarin, guru para bocah itu di SDN Ngadi, mengaku bahwa pihak sekolah sangat memahami perjuangan mereka untuk bisa sampai sekolah. Karena itu, keterlambatan mereka juga ditoleransi. Bahkan, saat cuaca benar-benar buruk, sekolah bisa mengerti kalau para murid memilih tak berangkat. “Dalam satu bulan, rata-rata mereka masuk 20 hari,’’ terang guru kelas IV itu. Artinya, dalam satu minggu, minimal satu kali mereka absen ke sekolah. Saat musim angin barat, tingkat kehadiran mereka di sekolah akan lebih rendah karena ombak lebih ganas. Dalam kondisi tersebut, kadang para guru memutuskan untuk mengisi presensi mereka sehingga tetap dianggap masuk sekolah. Pihak sekolah bukannya tidak berupaya memastikan anak-anak tersebut selalu hadir di sekolah. Salah satunya, mengupayakan bantuan speedboat kepada dinas sosial setempat. “Saya sampaikan juga waktu ada kunjungan DPRD Maluku,’’ tuturnya. ”Tapi, sejauh ini baru sebatas ditampung,” tambahnya. Perjuangan sama beratnya harus dilakoni para guru yang mengajar di SMPN 2 Dullah Laut yang berlokasi di Pulau Duroa atau Dullah Laut. Richarda Wemay, kepala pertama SMP tersebut, menuturkan bahwa setiap pagi dia s berangkat dengan menggunakan ojek dari kediamannya yang berjarak sekitar 12 kilometer dari dermaga di Desa Ngadi. Kadang, sang suami, Yusuf Wemay, yang mengantarkan.  Perahu motor biasanya baru tiba di dermaga pukul 7.30. “Yang punya perahu itu orang pulau sana, biasa untuk mengantar karyawan atau anak sekolah,” tuturnya. Ketika perahu tiba pun, dia tidak bisa langsung berangkat. Menunggu penuh lebih dahulu, yang berarti 6 sampai 10 orang. Sebagian adalah guru-guru SMPN 2 Dullah Laut. Agar tidak mengorbankan jam belajar siswa, dia mengatur jadwal mengajar sedemikian rupa. Sebagian guru yang memang tinggal di Dullah Laut diminta untuk mengapelkan para siswa. “Sehingga jam belajar tetap dimulai pukul 7.30,’’ ucap ibu empat anak itu. Ketika Jawa Pos mengunjungi sekolah yang didirikan pada 2012 itu pada Sabtu tiga pekan lalu (12/3), dari luar, gedung sudah tampak baik. Kelas-kelas berlangsung normal sebagaimana umumnya SMP. Meskipun, sebagian siswa tetap diperbolehkan tidak mengenakan seragam karena kondisi tertentu. “Selama yang dilanggar bukan aturan prinsip, kami masih toleransi,’’ terang Wakasek SMPN 2 Dullah Laut, Fatma Nuhuyana. Tahun ini total siswa yang bersekolah di SMPN 2 Dullah Laut 67 orang di kelas VII, VIII, dan IX. Angkatan pertama yang berjumlah 26 siswa sudah lulus pada 2015. Satu hal yang tidak ada di sekolah itu adalah listrik. Dulu mereka punya panel surya, tapi hilang dicuri. “Sekarang kami pakai genset yang dinyalakan hanya pada saat jam sekolah. Untuk menyalakan (overhead) projector dan peralatan penunjang lain,” lanjutnya. Dengan segala keterbatasan yang menyelimuti dunia pendidikan di Tual dan sekitarnya itu, toh prestasi tetap bisa dicatat. Marieta mencontohkan Irhan. Tahun lalu dia merupakan juara kelas. Sedangkan tahun ini dia sedang mengikuti lomba matematika antarsekolah se-Kota Tual. “Kami turut bangga dengan prestasinya. Semoga bisa menyemangati anak-anak yang lain untuk tetap sekolah, seberapa pun sulitnya,” tutur Marieta. (*/c10/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: