Densus 88 Langgar Prosedur Saat Tanpak Siyono

Densus 88 Langgar Prosedur Saat Tanpak Siyono

JAKARTA - Polemik kematian terduga teroris Siyono berbuntut panjang. Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri secara resmi memastikan adanya pelanggaran prosedur dalam penangkapan dan penahanan Siyono. Pelanggaran prosedur itu yang mengakibatkan perlawanan dan akhirnya kematian terduga anggota Neo Jamaah Islamiyah (Neo JI) tersebut. Kepala Divpropam Polri Irjen Mochamad Iriawan menegaskan, sudah ada banyak saksi yang diperiksa dalam kasus tersebut. Saksi-saksi tersebut merupakan orang yang melihat dan mendengar kejadian perlawanan terduga teroris. “Pokoknya, sudah diperiksa semua,” paparnya. Khususnya, untuk Densus 88 Anti Teror ada tujuh orang yang telah diperiksa. Pemeriksaan itu termasuk pada dua orang yang terlibat langsung dalam kejadian perlawanan yang dilakukan Siyono. “Dua anggota yang mengawal dan mengendarai mobil sudah diperiksa,” tuturnya. Bahkan, anggota Kesatuan Wilayah Polda Jawa Tengah juga telah diperiksa. Hasilnya semua dikerucutkan untuk dilakukan sidang kode etik dan profesi. “Dalam sidang semua akan dipaparkan,” terangnya ditemui di komplek Mabes Polri kemarin. Intinya, memang terdapat kesalahan berupa pelanggaran prosedur. Kesalahan utama itu adalah tidak diborgolnya Siyono saat mencoba menunjukkan letak gudang senjata. “Tidak diborgol ini jadi penyebab utama,” jelasnya. Soal mengapa tidak diborgol? Dia menjelaskan bahwa kedua anggota Densus 88 itu mengaku merasa sudah dekat dengan Siyono. “Kejadian ini menunjukkan mereka tidak profesional dalam bertugas,” tegasnya. Sementara Kadivhumas Polri Irjen Anton Charliyan menuturkan, dalam pemeriksaan juga terkuak bahwa sebenarnya Siyono memang merayu agar borgol dilepaskan. Jadi awalnya, Siyono ini dalam posisi mata ditutup dan tangan diborgol, tapi karena mengaku mau menunjukkan gudang senjata akhirnya kedua anggtoa Densus mengantarnya. “Waktu di jalan ini ternyata ada upaya-upaya yang dilakukan Siyono,” jelasnya. Saat telah sampai daerah Candi Prambanan, ternyata Siyono berdalih minta penutup matanya dibuka agar bisa menunjukkan. Setelah itu, dia juga meminta agar borgolnya dibuka agar lebih enak dalam menunjukkan lokasi gudang senjata. “Begitu dibuka, langsung Siyono ini memukul anggota Densus,” jelasnya. Bahkan, Siyono juga berupaya merebut senjata milik anggota Densus. Saat itulah perlawanan itu diimbangi dengan upaya Densus membela diri. “Ya, hasilnya Siyono terluka dan meninggal. Namun, anggota Densus juga terluka, bonyok-bonyok dianya,” terangnya. Kalau saja Siyono berhasil mengambil senjata Densus 88 lalu menembak keduanya, tentu ini akan jauh lebih berbahaya. “Kalau senjata itu terebut, bisa-bisa keduanya jadi mayat,” keluh mantan Karobindiklat Lemdiklat Polri tersebut. Dia menegaskan, kejadian terduga teroris itu meninggal merupakan kecelakaan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh Polri. “Tapi, silahkan bila ada pihak yang merasa ini merupakan pelanggaran hak azasi manusia (HAM),” terangnya. Namun, perlu diingat bahwa sebenarnya banyak anggota Polri dan TNI yang juga tewas di tangan anggota kelompok teror. Lalu, mengapa tidak ada yang menyebut ini pelanggaran HAM. “Dari situ saja, semua ini menyudutkan Polri,” ujarnya. Dia menduga bahwa ada upaya provokasi dari kelompok teroris agar menurunkan moral petugas di lapangan. Karena itu, Polri akan membuktikan bahwa Siyono ini memang panglima dari neo JI. “Kami akan membuktikan dari berbagai skema neo JI ini,” tegasnya. (idr)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: