Hasil Otopsi: Pukulan di Dada Tewaskan Siyono

Hasil Otopsi: Pukulan di Dada Tewaskan Siyono

JAKARTA - Proses otopsi yang dilakukan tim dokter forensic Muhammadiyah terhadap jenazah Siyono menemukan fakta baru. Pria yang dituduh teroris itu bisa dinyatakan meninggal dunia setelah dieksekusi anggota Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Ketua tim forensik dokter Gatot Suharto mengatakan, dari hasil otopsi terungkap bahwa luka di tubuh Siyono terjadi saat korban masih di hidup. “Ada temuan-temuan luka bersifat intravital atau terjadi sewaktu hidup akibat kekerasan di tubuhnya,” ujarnya di Kantor Komnas HAM, Jakarta kemarin (11/4). Namun, Gatot tidak bisa menjelaskan lebih rinci hasil otopsi karena terbentur kode etik. Dia hanya menegaskan, meski sudah dikubur selama 21 hari, jenazah masih bisa diotopsi. Sebab, kondisi tanah yang basah membuat proses pembusukan lambat. Penjelasan lebih detail diungkapkan Komisioner Komnas HAM Siane Indriani. Menurut Siane, hasil otopsi menjelaskan Siyono mengalami luka parah di bagian dada. Di mana tulang dada patah, serta ada lima tulang iga yang patah ke dalam, dan satu patah keluar. “Ada yang mengenai ke arah jantung. Itu yang mengakibatkan kematian,” imbuhnya. Dari otopsi itu juga, dokter menyimpulkan bahwa Siyono dipukul menggunakan benda tumpul dalam posisi bersandar. Karena ada lebam di tubuh bagian belakang akibat tekanan. Fakta tersebut, sekaligus membantah pernyataan pihak kepolisian yang mengatakan Siyono meninggal akibat pendarahan di kepala. Meski ada luka, tim dokter tidak menemukan adanya luka fatal yang bisa berujung pada kematian. Selain itu, fakta adanya perlawanan dari Siyono juga tidak terbukti dalam otopsi. Hal itu terlihat dari tidak ada bukti perlawanan seperti luka di lengan. “Tidak benar juga sudah dilakukan autopsi seperti yang disampaikan Polisi. Tim dokter memastikan ini otopsi yang pertama,” terangnya. Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas yang menginisiasi otopsi memastikan bahwa objektivitas proses otopsi yang dilakukan 4 April 2016 tersebut. Sebab, selain sembilan dokter yang terverifikasi, otopsi juga melibatkan satu dokter dari kepolisian Polda Jateng. Busyro menegaskan, hasil otopsi bukanlah yang terakhir. Namun saat ini, pihaknya masih merumuskan langkah apa yang akan diambil dengan adanya fakta tersebut. “Kita ingin ini kasus yang paling terakhir terjadi,” kata mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. Sementara itu, Kordinator KontraS Haris Azhar meminta agar kapolri memproses hukum anggotanya yang terbukti melakukan penganiayaan. Apalagi, ada peraturan Kapolri yang mengatur hal tersebut. “Bukan etik atau indisiplinernya dulu. Tapi penegakan hukum dulu,” ujarnya. Selain itu, Polri juga dituntut untuk mengevaluasi metode pemberantasan terorisme yang tidak profesional dan bermartabat. Karena dengan cara itu, pemberantasan terorisme tidak akan tuntas. “Kenapa terorisme terus ada, karena penegakan hukum amburadul,” ujarnya. Tak hanya itu, dia juga mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh. Tidak hanya di kepolisian, melainkan semua lembaga yang memiliki domain pemberantasan terorisme. Bersama Muhammadiyah dan LSM lainnya, Haris berencana mengagendakan rapat dengar pendapat umum dengan komisi III DPR RI. “Ini momentum untuk memperbaiki kinerja tim pemberantasan terorisme. Kita akan RDPU, agar DPR serius melakukan pengawasan,” pungkasnya. Sebelumnya, pihak kepolisian mengatakan jika kematian Siyono dilakukan karena ada upaya melarikan diri. Tak hanya itu, Polri mengklaim sempat ada perlawanan fisik yang dilakukan ayah lima anak tersebut. Terakhir, kepolisian memastikan tengah melakukan pemeriksaan terhadap anggota densus. (far/agm)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: