Singapura OPEN, Comeback Sempurna Arek Suroboyo

Singapura OPEN, Comeback Sempurna Arek Suroboyo

JAKARTA - Masyarakat Indonesia akan mengenang perjuangan setiap juaranya. Tak terkecuali bagi Sony Dwi Kuncoro, arek Surabaya yang kemarin (17/4) tampil luar biasa di masa senjakala dia sebagai pebulu tangkis. Final tunggal putra Singapore Open Superseries (SS) 2016 kemarin telah menjadi saksi sejarah kebangkitan pria 31 tahun itu di peta bulu tangkis dunia. Sony membukukan kemenangan sengit dalam rubber game  21-16, 13-21, 21-14, atas Son Wan Ho, pebulu tangkis asal Korea Selatan di Singapura Indoor Stadium. Merengkuh gelar juara di Singapura SS menjadi momentum kebangkitan suami Gading Safitri tersebut setelah hampir enam bulan tak pernah juara di setiap event yang diikuti. Terakhir kali juara di perlihatkan, saat Sony tampil di Taiwan Open 2015 lalu. Pagi hari sebelum final berlangsung kemarin, Jawa Pos (Radar Cirebon Group) sempat memberikan semangat via pesan singkat. Tak diduga, sesaat berikutnya, jawaban khas Suroboyoan muncul dari nomor pribadi Sony. \"Yang penting Bonek (Bondo Nekat, red) Mas!,\" tulisnya singkat. Satu kalimat penuh makna khas Arek Suroboyo itu meluncur begitu saja. Dengan gaya ngotot dan tak kenal lelah itulah, pebulu tangkis yang 13 tahun pernah menghuni pelatnas Cipayung itupun mampu menundukkan Son dan meraih gelar pertama tahun ini dalam waktu 1 jam 3 menit. Mengakhiri event sebagai juara Singapura SS bukanlah hal baru bagi Sony. Sebelumnya dia sempat menang di Singapura 2010 silam. Kala itu, dia masih menjadi tumpuan pelatnas sebelum akhirnya terdegradasi pertengahan 2014 silam. Bersama Gading Safitri, sang istri, Sony melewati setiap fase turnamen dengan mantap. Di beberapa akun media sosial, ramai dibicarakan siapa sosok cewek yang mendampingi Sony di tepi lapangan. Tetapi begitulah, Gading kini menjadi mentornya setelah keluar dari pelatnas. Pengalaman Gading di dunia bulu tangkis mentok di level Sirnas. Itupun sudah dia tinggalkan berpuluh tahun yang lalu. Tetapi mendampingi Sony dalam setiap penampilan membuat peraih perunggu di Olimpiade 2004 Athena itu tetap tegar. Situasi itu tidak selalu terlihat di setiap kali event yang dia jalani. Keterbatasan dana menjadi salah satu pertimbangan logis yang harus dihadapi. Kini, bermodal sokongan dana dari klub lokal Surabaya, Tjakrindo Masters dia menyiapkan hal-hal non teknis secara mandiri. \"Beda dulu ketika di pelatnas, semua serba disiapkan, kini belajar mengatur sendiri, tentu dibantu istri,\" bebernya. Letupan kebahagian terlihat jelas dari raut wajah Sony selesai pertandingan. Berbeda dengan sebelumnya, rona wajahnya semringah. Bahkan di atas podium juara dia membawa Sang Saka Merah Putih. Sebagai tanda bahwa Sony masih layak untuk jadi tumpuan. Usianya memang tidak muda lagi, 31 tahun. Mengenai ranking dunia? Terlalu jauh, sudah tercecer di urutan 56 dunia. \"Sudah lama juga saya tidak juara di level super series,\" katanya melalui surat elektronik PP PBSI selesai pertandingan kemarin. Sony memang tak seperti empat tahun lalu, untuk ikut turnamen saja dia harus mengawali via jalur kualifikasi. Beda disaat dia nangkring di peringkat 20 besar dunia dahulu tanpa harus bersusah payah dan langsung ke babak utama. Indonesia kemarin tak hanya tentang Sony. Ganda putri andalan Pelatnas Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari tak perlu mengeluarkan keringat untuk naik podium. Sang lawan asal Jepang Misaki Matsumoto/Ayaka Takahashi menyatakan mundur dari partai final. Ini setelah Misaki mengalami cedera engkek kaki kiri. Buat keduanya prestasi kemarin adalah gelar pertama tahun ini. Suntikan positif itu bisa mendongkrak performa mereka menuju Olimpiade 2016. \"Bisa dibilang ini keuntungan buat kami,\" kata Nitya. Semangat fair play juga disampaikan Nitya dengan harapan Misaki bisa segera pulih dari cederanya. (nap)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: