Badai Salju Bikin Lihat Sound of Music dan Avatar
Oleh: Dahlan Iskan PENGUMUMAN ini mengejutkan saya. ’’Besok Bandara Denver tutup. Ada badai salju.’’ Aneh. April sudah hampir berakhir. Musim dingin sudah lama lewat. Saya sudah tidak siap dengan baju dingin. Kok tiba-tiba badai salju. Begitulah Denver. Ibu kota Negara Bagian Colorado ini. Letaknya di atas pegunungan Rocky Mountain. Gudangnya salju di wilayah barat Amerika. Tapi, bukan itu soalnya. Besok saya harus ke Salt Lake City, ibu kota Negara Bagian Utah. Sudah punya tiket pesawat. Bisa saja ikut penerbangan besoknya. Tapi, belum ada jaminan badai pasti berlalu. Ramalan cuaca menyebutkan salju turun lagi selama tiga hari. Maka saya putuskan naik kereta api. Namanya Amtrak. Jarak Denver–Salt Lake City harus ditempuh 15 jam. Huh! Gara-gara salju salah musim, saya harus 15 jam di atas kereta. Dengan tabah saya terobos hujan salju itu. Dengan jaket musim panas. Kedinginan. Okelah. Toh, stasiun keretanya tidak jauh dari hotel. Aneh, hujan salju. Padahal, kemarinnya ketika saya di Kota Colorado Springs, satu jam bermobil dari Denver, matahari bersinar dengan riangnya. Setelah kereta meninggalkan Stasiun Denver, saya terpana. Pemandangan ini luar biasa: salju memutih di mana-mana. Lebih jauh dari Denver lebih menakjubkan. Kereta seperti memasuki hutan putih. Semua pohon berselimut salju. Di kiri, di kanan. Kadang pepohonan itu seperti tidak kuat menanggung beban salju. Mentelung ke arah kereta. Sungguh seperti di alam mimpi. Saya tidak jadi mengeluh harus naik kereta. Saya justru bersyukur. Kalau Bandara Denver tidak tutup, tidak mungkin saya mendapatkan pengalaman ini. Saya pernah naik kereta api dari Kota Bergen ke Oslo di Norwegia. Juga melintasi pegunungan. Juga di musim salju. Juga indah sekali. Tapi, pemandangan di pegunungan Rocky Mountain ini berpuluh kali lipatnya. Lima jam lamanya surga salju pegunungan itu tidak henti-hentinya menyejukkan rohani. Saya tidak berani tidur. Ini terlalu indah untuk diabaikan. Kian ke barat, salju kian tipis. Lalu habis. Tapi, pemandangan tetap menakjubkan. Hanya berganti jenisnya. Seperti ganti pertunjukan. Dari film Sound of Music ke film Avatar tiga dimensi. Kereta memasuki tebing-tebing gunung yang terjal. Berkelok-kelok. Mengikuti aliran sungai Colorado yang berbatu. Yang airnya mengalir seperti sedang mencari celah-celah batu. Kereta berjalan amat lambatnya. Seperti harus hati-hati. Jangan sampai menyenggol tebing di kanan. Atau tergelincir ke sungai di kiri. Sesekali kereta memasuki terowongan. Gelap. Lalu tiba-tiba seperti terhalang sungai di depan. Saya pernah merasakan naik kereta api yang menyusuri tebing seperti itu. Yakni di Hokkaido. Kiri gunung. Kanan laut. Sesekali juga masuk terowongan. Saya juga mengaguminya. Tapi, pemandangan di Hokkaido itu hanya sekitar satu jam. Ini, di Rocky Mountain ini, lima jam. Berarti 10 jam sudah saya di kereta. Tidak berani ngantuk. Apalagi memejamkan mata. Padahal, kursinya enak. Bisa disandarkan. Bagian depannya ada tambahan yang bisa dinaikkan. Enak untuk tidur. Longgar pula. Jarak antar kursinya lebih longgar dari kereta Argobromo. Penumpang sedikit. Tidak sampai 50 persen. Saya bisa menikmati perjalanan ini. Apalagi kereta ini dua tingkat. Penumpang di lantai atas. Lantai bawah untuk bagasi, tiga toilet, dan kebutuhan supporting lainnya. Setelah 10 jam kereta menuruni pegunungan. Kini merayap di padang sabana. Saya sebut merayap karena kecepatan tertinggi kereta ini hanya 90 mil/jam. Jangan dibandingkan dengan kereta di Tiongkok sekarang. Yang kecepatannya 315 km/jam. Saya pernah naik kereta peluru Tiongkok dari Beijing ke Shanghai. Hanya lima jam. Dari Beijing ke Tianjin. Hanya 29 menit. Dari Shanghai ke Hangzhou. Hanya 2 jam. Dari Beijingxi ke Chengzhou. Hanya 2 jam. Di Amerika ini, saya harus naik kereta 15 jam. Setelah 10 jam kereta memasuki Negara Bagian Utah. Pemandangannya pun berganti. Pertunjukannya berbeda. Dari pegunungan ke padang sabana. Beda jenisnya. Sama menakjubkannya. Padang sabana Utah ini seperti dihiasi lukisan. Gunung-gunung kecil yang lucu-lucu bentuknya. Ada yang lerengnya tegak. Berlapis-lapis. Seperti irisan roti Mandarin. Atau spiku yang diiris dengan pisau tumpul. Ada yang seperti candi-candi di Prambanan. Tapi banyak sekali. Tidak habis-habisnya. Dan gunung-gunung itu menor-menor warnanya. Kemerahan. Kekuningan. Berganti-ganti. Di sela-sela itu ada canyon-canyon. Rupanya, tanah Utah ini memang satu garis dengan Grand Canyon. Saya baru berhenti berkhayal setelah matahari tenggelam dengan malasnya. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Tapi, ufuk barat masih merah menyala. Menyiramkan merahnya ke padang oranye. Menambah keindahan sabana ini. Tak tepermanai. Saat di restoran, saya makan semeja dengan penumpang lain. Suami istri. Dari Missouri. Sambil terus menikmati lukisan alam. Ternyata dia sudah dua hari di kereta. Naik dari Chicago. Dan masih dua hari lagi di kereta. Akan turun di San Francisco. Dulu sang suami seorang petani. Tanam gandum atau jagung. Atau kedelai. Tanahnya 80 hektare. Dijual. Untuk pensiun. Anaknya tidak ada yang mau jadi petani. Dia menikmati hari tua dengan jalan ke mana-mana. Melihat orang tua itu, saya jadi semangat. Saya bertekad naik kereta lagi saat harus ke kota kecil Elko. Di tengah padang sabana Nevada. Dua hari kemudian. Tekad itu pun terlaksana. Saya teringat saat jalan kaki dari Makkah ke Arafah. Sesekali hampir putus asa. Karena lelahnya. Lalu melihat seorang wanita tua. Menempuh jalur yang sama. Tertatih-tatih. Tapi terus berjalan. Istiqamah. Saya tidak boleh kalah dari wanita itu. Dan wanita tua lainnya. Satu malam di Elko, saya tidak punya pilihan. Kota ini hanya berpenduduk ribuan orang. Hanya satu gerumbul bangunan di tengah padang sabana nan luas. Tidak ada stasiun kereta di sini. Yang ada hanya kotak kaca cukup untuk lima orang. Tidak ada penunggunya. Tidak ada petugas. Hanya dua orang yang turun di sini. Saya dan entah siapa. Dia dijemput mobil. Satu-satunya mobil di lokasi itu. Saya? Tolah-toleh. Sepi. Sunyi. Pukul 6 pagi. Agak ngantuk. Dan lelah. Kaget membuat mata terbuka. Tidak menyangka sesepi ini. Tidak ada taksi. Tidak ada orang. Tidak ada bangunan yang bisa diketuk pintunya. ’’Bagaimana cara cari taksi, please?’’ teriak saya pada mobil yang siap meluncur itu. Setengah bertanya, setengah mengharap pertolongan nunutan. ’’Minta bantu dia. Dia bisa teleponkan,’’ jawabnya. Wusss. Dia menghilang. Yang dimaksud ’’dia’’ adalah kondektur kereta. Yang tadi membukakan pintu pagar kawat. Agar saya bisa meninggalkan rel kereta. Petugas itu sudah kembali melangkah. Naik kembali ke kereta. Saya berteriak keras-keras. Berlomba keras dengan deru lokomotif. ’’Help. Help. Taxi. Taxi. For me. Please.’’ ’’Yes, I will do,’’ teriaknya sambil naik kereta. Dia tutup pintunya. Kereta meluncur. Saya lihat dia di balik jendela kaca. Menunjuk-nunjukkan jarinya ke handphone-nya. Kereta terus menjauh. Tapi saya mengerti maksudnya. Rupanya, sang petugas sudah biasa melakukan itu. Tidak sampai 10 menit kemudian, terlihat taksi mendekat. Lega. Meski cuma secuplik, kota ini cukup hidup. Hotel-hotel berjajar. Juga restoran. Dan supermarket. Beberapa hotel merangkap kasino. Jangan bayangkan seperti Las Vegas. Atau Genting di Malaysia. Atau Macau. Kasino di Elko ini cuma secuplik. Dan sepi. Meski di tengah padang sabana, Kota Elko ini dingin. Kota ini 2.000 meter di atas laut. Problem baru harus saya hadapi. Kereta dari Elko hanya ada dua. Satu ke timur, ke arah Denver. Satu ke barat, ke arah San Francisco. Lewat Reno dan Sacramento. Saya harus ke Reno. Tesla lagi membangun pabrik terbesar di dunia. Di luar Kota Reno. Untuk memproduksi baterai. Untuk mobil listriknya. Inilah pabrik seluas 1 juta hektare. Kereta yang saya perlukan itu akan berhenti di Elko pukul 3 pagi. Itulah kereta yang membawa saya selama 15 jam dari Denver ke Salt Lake City. Ditambah empat jam ke Elko. Mencari taksi pukul 3 pagi tidak masalah. Bisa pesan sebelumnya. Tapi, inilah yang mungkin akan terjadi. Saya adalah satu-satunya penumpang dari Elko. Akan sendirian menunggu di luar pagar rel itu. Di tengah padang sabana itu. Pukul 3 pagi. Gelap. Dingin. Sepi. Semoga keretanya tiba tepat waktu. Bagaimana kalau telat? Seperti kereta saya kemarin? Telat empat jam? Karena ada kereta barang yang anjlok? Akankah saya kedinginan tanpa baju dingin? Ternyata saya tidak sendirian. Ada sepasang suami istri yang juga akan ke Reno. Dia guru SD di Elko. ’’Hanya telat 25 menit,’’ katanya. ’’Saya sudah telepon ke keretanya.’’ Reno! Saya tiba! Kota yang indah. Dan hidup. Penuh dengan kasino. Saya pun berfoto. Di lokasi yang semua orang berfoto di situ. Gerbang kota yang tulisannya membuat semua orang tersenyum: The Biggest Little City in The World! (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: