Liku-Liku Memburu Koruptor Bank Century; Sistem Bisa Menipu, Aliran Dana Tak Bisa

Liku-Liku Memburu Koruptor Bank Century; Sistem Bisa Menipu, Aliran Dana Tak Bisa

Kejahatan di sektor finansial tak pernah terkuak dengan mudah. Lebih dari tujuh tahun tim terpadu pemburu koruptor  Bank Century berusaha menangkap buron dan mengembalikan aset. Penangkapan Hartawan Aluwi menjadi pelecut untuk menuntaskan kasus yang terjadi bersamaan dengan krisis keuangan 2008 itu. Laporan: Ilham Wancoko, Jakarta HIRUK pikuk terjadi di depan kantor Bareskrim Kamis (21/4) menjelang tengah malam. Sekitar sepuluh petugas masuk ke dua mobil. Kendaraan itu melesat ke Bandara Soekarno-Hatta. Mereka menjemput Hartawan Aluwi, buron kelas kakap Bank Century yang diburu sejak tujuh tahun lalu. Di dalam pesawat sudah ada rekan mereka dan Hartawan. “Di dalam pesawat tidak banyak yang dibicarakan Hartawan,” ujar anggota tim terpadu pemburu koruptor sekaligus Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Kombespol Agung Setya. Setelah turun dari pesawat, Hartawan langsung digelandang menuju kantor Bareskrim di kompleks Mabes Polri. Puluhan pertanyaan diajukan kepada Hartawan. Semua dijawab dengan dingin. “Gerak-geriknya tidak ada yang istimewa. Dia menerima semua prosesnya. Kami beri tahukan bahwa kami menjalankan tugas,” ucap Agung. Tapi, di dalam penyidik sudah waswas dengan perilaku Hartawan itu. Sebab, mereka memperhitungkan kelas seorang Hartawan. “Ya, kami mengetahui bagaimana sepak terjang dia saat menangani kasus Bank Century. Perlu kewaspadaan,” ungkapnya. Namun, penangkapan Hartawan merupakan prestasi istimewa. Agung yang terlibat menangani kasus Bank Century sejak 2008 merasakan kepuasan tersendiri. “Penyidik mendapatkan ujian yang begitu berat karena rangkaian kasus yang panjang dan tingkat kerumitannya tinggi,” katanya. Penyidik dihadapkan pada berbagai intrik. Salah satunya muslihat pemilik bank menyedot uang nasabah. “Sistem bank tidak memungkinkan mengirim uang nasabah ke rekening pemilik bank. Karena itu, dibuatlah investasi reksa dana fiktif. Nasabah dihadapkan pada pilihan bunga kecil saat menabung atau bunga besar dengan investasi,” jelasnya. Tapi, yang menjadi kunci kasus itu adalah aliran dana. Agung menerangkan, semua rangkaian alur kasus tersebut memang tidak memperlihatkan adanya pelanggaran. Tapi, sampai pada satu titik tim ingin mengetahui aliran dananya, semua mulai terkuak. ”Sistemnya mungkin bisa menipu. Tapi, aliran dana itu tidak bisa menipu. Hasilnya, uang nasabah itu jumlahnya sangat kecil yang digunakan untuk investasi. Sebagian besar masuk kantong pribadi,” jelasnya. Saat kasus sudah sampai ke pengadilan, Hartawan ternyata kabur ke luar negeri. Agung menyatakan, akhirnya tugasnya bukan hanya mengusut kasus dan mengembalikan aset, tapi juga mengejar buron itu. “Semua berjalan beriringan, pengembalian aset, penanganan kasus, dan pengejaran buron dilakukan,” paparnya. Untuk pengembalian aset, uang nasabah yang terdeteksi, salah satunya, senilai USD 2 juta di Hongkong. Aset tersebut dibekukan. Tapi, siapa sangka ternyata Hartawan menggugat melalui pengadilan Hongkong. “Buron itu tidak menerima pembekuan itu,” ucapnya. Gugatan buron tersebut membuat Agung tertantang. Sebagian besar anggota tim merasa perlu menggiatkan pengejaran terhadap buruan itu. “Ya, momentum gugatan Hartawan ini yang meningkatkan semangat kami untuk menangkapnya,” tutur dia. Ibaratnya, seorang petugas bertemu dengan buronnya yang sedang melarikan diri. Bahkan melakukan perlawanan secara hukum. “Kemunculan dia menjadi sesuatu yang menarik bagi kita,” ucap penulis buku Polisi Mengantar Ayam Hilang itu. Dari berbagai informasi, keberadaan Hartawan terendus di Singapura. Alamat kedua apartemennya sudah ada di tangan aparat beberapa tahun yang lalu. Tapi, penangkapan tidak bisa dilakukan saat itu. “Semua harus seizin pemerintah Singapura,” ujarnya. Lalu, bagaimana cara meyakinkan pemerintah Singapura? Agung menceritakan bahwa penangkapan itu merupakan kerja sama yang bersifat rahasia. Tidak semuanya bisa diungkapkan. “Ada banyak hal yang tidak bisa saya sebutkan,” tuturnya. Tapi, dapat diibaratkan, seorang aparat hukum tentu akan lebih mudah akrab dengan aparat hukum negara lain. Dalam hal ini aparat Singapura. “Ya, kalau di luar negeri ketemu aparat tentu akan lebih nyambung. Berbeda kalau bertemunya dengan pedagang,” paparnya. Bukan hanya itu, tim tersebut juga pernah gagal saat berupaya mengejar salah satu aset kasus Bank Century di Swiss. Agung menuturkan, persiapan tersebut dilakukan berbulan-bulan. Tim dari Bareskrim, Kejaksaan Agung, dan lainnya telah menggelar rapat dengan matang. Namun, begitu sampai di Swiss, ternyata ada sebuah masalah. Ada salah satu pihak dalam tim yang ternyata tidak menjalankan tugasnya. Pemerintah Swiss tentu tidak bisa banyak membantu. ”Semua keringat berbulan-bulan itu sia-sia. Kami juga harus angkat kaki secepatnya,” ujar Agung. Kejadian tersebut tidak lantas membuatnya patah semangat. Kasus Century itu masih menyisakan sejumlah tugas. Terutama pengembalian aset dan pengejaran dua buron lainnya, Anton Tantular dan Hendro Wiyanto. “Kami pasti mengejar keduanya,” tegas Agung. Saking lamanya penanganan kasus Century, penyidik Bareskrim memelesetkan penanganan kasus tersebut menjadi Polres Bank Century. Itu akibat penyidik-penyidiknya bertahun-tahun menangani satu kasus. ”Ya, sebenarnya penyidik membutuhkan variasi kasus untuk menambah pengalaman. Tapi, demi tugas tentu semua dijalankan,” tuturnya. Beratnya menangani kasus Century juga memunculkan kebiasaan unik penyidik. Agung mengungkapkan, penyidik kasus Century kerap sekali memakai batik pada Senin. Namun, itu lebih disebabkan baju yang tidak ganti sejak Jumat. “Jumat itu kan wajib pakai baju batik. Karena kerja lembur, tidak berhenti pada Sabtu, Minggu, dan Senin, ya kami pakai batik itu selama empat hari,” beber polisi dengan tiga melati di pundak tersebut. (*/c9/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: