Soal Hukuman Kebiri Pemerintah Masih Hati-hati  

Soal Hukuman Kebiri Pemerintah Masih Hati-hati   

  JAKARTA- Sejak digadang-gadang tahun lalu, draft rancangan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) kebiri bagi predator seksual sempat hilang bak ditelan bumi. Hingga akhirnya kasus pemerkosaan dan pembunuhan YY (13), memaksa agar Perpu segera diterbitkan. Pemerintah berkelit, pembahasan alot karena pro kontra. Disinggung soal ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise pun langsung pasang badan. Seolah tak ingin disalahkan, ia melempar bola panas ke Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Dia menuturkan, draft sudah diserahkan pihaknya sejak akhir tahun lalu. Tak ingin disudutkan begitu saja, Kemenko PMK pun langsung menyerang balik.  Asisten Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak, Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan perempuan dan Anak, Kemenko PMK Marwan Syaukani menuturkan, draft yang diserahkan Kementerian PPPA tidak disertai kajian mendalam bersama kementerian/ lembaga terkait. Oleh karenanya, Kemenko PMK harus terlebih dahulu mengumpulkan mereka untuk mengkomunikasikan wacana hukuman kebiri ini. “Hanya sebatas draft. Kami tentunya tidak ingin demikian dan ada polemik ke depan. Jadi harus didengar semua,” katanya. Kajian bersama ini pun ternyata tak berjalan mulus. Muncul pro kontra terkait wacana hukuman menghilangkan libido ini. Itu pun bukan dari satu lembaga saja. Tapi, yang mengejutkan, Marwan menyebut, penolakan justru datang dari beberapa penggiat anak. ”Ada beberapa penggiat anak juga. Tak bisa disebutkan tentu saja. Kalau KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Komnas Perlindungan Anak sih sangat mendukung dari awal,” tuturnya. Diakuinya, penolakan ini sempat membuat pembahasan alot. Ditambah pula, tak ada payung hukum untuk hukuman kebiri ini. Memang, dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tak ada aturan soal hukuman kebiri. Hukuman hanya terdiri dari hukuman 20 tahun, seumur hidup dan hukuman mati. “Sehingga kami juga harus sangat hati-hati. Jangan sampai sudah diputuskan tapi berpolemik. Belum lagi soal kemungkinan bila tak kunjung ditolak oleh DPR setelahnya. Kan jadinya gugur dan hanya berlaku satu tahun saja,” ungkapnya. Sebagai informasi, Perpu memang menjadi hak prerogatif presiden. Saat disetujui dan ketok palu, maka perpu bisa langsung berlaku. Namun, diterangkan juga dalam Undang-undang nomor 12 Tahun 2011, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa Perpu harus langsung dibahas dalam persidangan selanjutnya di DPR. Persidangan tersebut untuk membahas apakah Perpu disetujui atau tidak. Bila disetujui, maka akan langsung disahkan sebagai undang-undang. Tapi, jika sebaliknya, perpu jadi tidak berlaku. Dan selanjutnya, Pemerintah bersama DPR akan melakukan perumusan RUU pencabutan Perpu tersebut. Meski begitu, dia meyakinkan, bila pemerintah betul-betul konsen terhadap pemberatan hukuman ini. Rapat marathon bersama kementerian/lembaga terkait juga sudah dilakukan lima bulan terakhir. “Draft sudah rampung di tingkat eselon I dan II minggu lalu. Kami juga sertakan semua opsi terkait pemberatan hukuman ini. Tinggal menunggu keputusan atas (tingkat menteri),” ujarnya. Menanggapi, Ketua Divisi Sosialisasi KPAI Erlinda menyatakan alasan tersebut tak dapat diterima. Menurutnya, soal pro kontra pasti tak ada habisnya. “Oleh karenanya butuh ketegasan pemerintah. Kalau sudah pemerintah bicara, pasti semua juga akan terima,” tegasnya. Sementara itu, menyoal tentang alasan payung hukum, Erlinda mengaku bingung. Sebab, justru Perpu ini bisa digunakan sebagai payung hukum baru untuk hukuman kebiri ini. Diakuinya, kehati-hatian ini perlu. Namun sayangnya, hal ini membuat pembahasan lamban. “Justru ini kan untuk ‘menambal’ itu. Karena keadaan yang mendesak, Perpu bisa digunakan menggantikan undang-undang,” tuturnya. Terpisah, Ketua MPR RI yang juga Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan mengintruksikan Fraksi PAN DPR RI untuk menjadi pelopor dalam pengesahan RUU Perlindungan Anak dan Kejahatan Seksual (PKS) menjadi UU. Hal ini karena darurat kejahatan seksual kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. “Kita minta agar RUU Kejahatan Seksual segera disahkan. Kita akan minta Fraksi PAN DPR RI menjadi pelopor untuk RUU ini,” kata Zulkifli. Menurut Zulkifli, kasus yang menimpa YY di Bengkulu sangat memprihatinkan. Karena itulah, RUU PKS menjadi hal yang mendesak dan penting untuk segera diselesaikan. Anggota Komisi IX dari Fraksi PDIP, Karolin Margret Natasha mendukung upaya vonis berat kepada pelaku pemerkosaan. Dirinya akan mendukung jika muncul sanksi hukuman seperti kebiri. Meski dalam hal ini, Karolin meragukan efektivitas hukuman semacam itu. “Dalam kasus kekerasan anak, yang terpenting adalah bagaimana mencegahnya,” kata Karolin. Menurut Karolin aspek pencegahan penting, karena seberat apapun hukuman, kejahatan selama ini terus terulang. Sebagai contoh, kasus kejahatan narkoba sampai saat ini tetap ganas bahkan meningkat, meski vonis yang dijatuhkan saat ini sampai pada hukuman mati. ”Pengawasan dan meningkatkan kesadaran anak menjadi penting, bukan hanya menghindarkan sebagai korban, tapi juga pelaku,” ujarnya. (mia/bay)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: