Sempat Diancam, ASEAN Literary Festival Lanjut Terus
JAKARTA – ASEAN Literary Festival 2016 kemarin (6/5) tetap digelar meskipun sempat berada dalam ancaman kelompok intoleran yang menentang pergelaran tersebut. Taman Ismail Marzuki (TIM) yang menjadi tempat acara diskusi dan pertunjukan itu dipadati pengunjung. “Sejak kemarin banyak yang tanya jadi atau tidak. Saya bilang pasti jadi,” kata Direktur Program ASEAN Literary Festival 2016 Okky Madasari saat membuka A Rare Conversation: Sapardi X Jokpin yang menjadi salah satu menu festival tadi malam. Tekanan untuk membatalkan acara yang berlangsung hingga besok (8/5) itu ditujukan kepada penyelenggara karena dianggap mempromosikan isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), Papua dan Timor Leste, serta peristiwa 1965 dalam rangkaian acara. Okky bersyukur pada akhirnya acara tetap berlangsung. “Selamat menikmati pertunjukan ini,” ujar Okky di hadapan ratusan penonton yang hadir. Puluhan polisi tampak berjaga-jaga di lokasi acara. Mereka tersebar di berbagai sudut TIM. Meski demikian, keberadaan aparat kepolisian tidak mengurangi antusiasme pengunjung. Panitia ASEAN Literary Festival 2016 menyuguhkan berbagai acara. Mulai pementasan, talk show, hingga berbagai seminar yang berkaitan dengan sastra. Sejumlah seniman yang ikut meramaikan perhelatan tersebut antara lain Sapardi Djoko Damono, Aan Mansyur, Ari-Reda, Dewi Lestari, dan Leila S. Chudori. Penerima Nobel Perdamaian Jose Ramos-Horta bahkan menjadi pembicara Kamis (5/5). Di hadapan ratusan orang, Horta berbicara tentang hubungan kedua negara serta situasi perdamaian dan kebebasan saat ini. Sebelum berpidato, bekas Presidan Timor Leste ini sempat berkomentar tentang orang Indonesia. “Mereka selalu tersenyum. Bahkan saat rezim Soeharto, orang-orang selalu tersenyum,” ujar Horta. Padahal di masa itu, masyarakat sangat terkekang dan tak bebas. Karena itu, Horta menilai orang Indonesia sangat tangguh dan mampu bertahan dalam situasi apapun. Dia juga memuji prestasi Indonesia di kancah internasional. Pandangan negara asing terhadap tingkat toleransi, prestasi ekonomi, dan pencapaian lainnya sangat brilian. “Kalian harus bangga dengan apa yang telah dicapai negara ini,” kata dia. Meski dia mengakui ada gerakan yang mulai mengarah pada ekstremis kesukuan ataupun keagamaan, pemerintah masih bisa menanganinya. Terkait gerakan-gerakan ekstremis, Horta mengatakan ini bukanlah masalah baru. Setiap negara pasti memiliki masalah ini, entah ideologi ekstrem keagamaan, kesukuan, hingga politik. Lantas, bagaimana cara mengatasinya? “Kita bisa belajar dari Eropa,” kata dia. Horta berkisah kalau gerakan ekstrem pertama terjadi tepat di jantung benua tersebut, seperti di Italia dan Jerman. Agen intelijen menarget langsung tokoh ataupun akar gerakan ini. Namun, pahlawan sesungguhnya adalah masyarakat Eropa itu sendiri. “99,9 persen masyarakat tidak mengikuti ataupun mendukung ideologi ini. Lama kelamaan, ideologi itu mati,” kata Horta. Jai, pendidikan dan akal sehat merupakan senjata penting untuk menumpas pola pikir ekstrem. Dengan bekal ini, setiap individu bisa menghindari pikiran-pikiran irasional. Horta mengatakan perang melawan ekstremisme adalah suatu perjalanan panjang. “Tak ada jawaban instan,” kata dia. (far/c9/sof)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: