Cirebon Ingin Menata PKL seperti Surabaya

Cirebon Ingin Menata PKL seperti Surabaya

KEJAKSAN – Keberhasilan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam menata Pedagang Kaki Lima (PKL), mendapatkan apresiasi dari semua pihak. Langkah tegas pemerintah dan koordinasi aktif dengan lintas sektoral, menjadi kunci keberhasilan tersebut. Bahkan, dalam sehari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya melakukan penertiban sampai empat kali. PKL ilegal yang tidak terdata Dinas Koperasi UMKM Kota Surabaya, langsung ditertibkan. Kepala Dinas Perdagangan Perindustrian Koperasi UMKM (Disperindagkop) Kota Cirebon, Drs H Agus Mulyadi MSi mengatakan, studi banding ke Surabaya mendapatkan banyak inspirasi dan sikap yang harus dicontoh. Meskipun potensi perekonomian masyarakat, hanya yang memiliki KTP Surabaya boleh berjualan di sentra PKL yang disediakan pemerintah. “Kuncinya ketegasan pemerintah dan komitmen bersama menata kota. Baik dari pemerintah, swasta dan PKL itu sendiri,” ucap Agus, kepada Radar, Senin (23/5). Agus menilai, lahan yang ada di Kota Cirebon cukup untuk menata PKL. Bahkan, sungai bisa digunakan sebagai sentra pedagang yang dibuat pemerintah. Untuk tempat baru relokasi pedagang, risiko memang sepi di awal-awal. Karena itu, perlu daya tarik agar pengunjung mau datang dan menikmati. Seperti, taman bermain dan sejenisnya. Meskipun kota besar dengan jumlah PKL puluhan ribu, Kota Surabaya mampu mendata sesuai dengan jumlah titik yang sesuai. Bahkan, penertiban dilakukan empat kali dalam sehari. Benar-benar membuat jera para pedagang ilegal. Istilah pedagang ilegal, ujarnya, diambil dari PKL yang tidak masuk pendataan. Artinya, mereka bukan warga setempat dan Dinas Koperasi UMKM Surabaya tidak memberikan izin. Hal ini merupakan bentuk upaya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. “Team work berjalan. Walikota Risma hanya memerintahkan, semua berjalan sesuai tupoksi masing-masing,” tukasnya. Kepala Dinas Koperasi UMKM Kota Surabaya, Drs Hadi Mulyono MM menceritakan, perjalanan penataan dimulai saat Risma masih menjabat Kepala Bappeda Kota Surabaya pada tahun 2006. Setelah Risma menjadi walikota, langkah penataan semakin tegas dan terarah. Peraturan Daerah (Perda) sebagai payung hukum dibuat pada tahun 2003. Saat penataan PKL, Pemkot Surabaya dibantu penuh Jawa Pos. Baik sosialisasi maupun koordinasi dengan lintas sektoral. “Kami harus mengakui, peran Jawa Pos sangat besar dalam keberhasilan penataan PKL di Kota Surabaya,” ucapnya, di hadapan rombongan Pemkot Cirebon yang dipimpin Sekretaris Daerah Kota Cirebon Drs Asep Dedi MSi. Selanjutnya, kata Hadi, walikota Risma membuat surat agar daerah bebas hambatan dengan sistem ring. Di mana, daerah tersebut tidak boleh ada PKL maupun terminal bayangan. Setelah itu, Dinas Koperasi UMKM Surabaya berkoordinasi dengan camat lurah untuk melakukan pendataan. Hasilnya, ada 18 ribu PKL di 488 titik jalan Surabaya. “Banyak sekali jumlahnya. Kami data, bukan warga Surabaya kita suruh kembali ke kampung halamannya. Kita kembalikan fungsi jalan menjadi jalan, taman menjadi taman. Tanpa PKL,” paparnya. Langkah itu tidak membuat keributan. Pasalnya, sejak awal sudah ada komunikasi dengan PKL. Setelah itu, Pemkot Surabaya melakukan relokasi. Camat lurah kembali dilibatkan. Untuk melakukan inventarisasi tanah-tanah yang dikuasai negara. Selanjutnya, tanah tersebut digunakan untuk tempat relokasi dengan membangun sentra PKL. Dengan hal itu, penataan PKL menjadi berhasil. Saat ini, ada 52 sentra PKL di Surabaya dengan rata-rata ukuran lahan seribu meter. Selain bersumber dari APBD, penataan berkat kerjasama dengan swasta melalui dana CSR. PKL warga Surabaya membentuk koperasi di setiap sentra. PKL yang telah terdata, tidak boleh pindah tangan. Apalagi sampai diperjualbelikan. “Kami tidak mengenal PKL. Adanya usaha legal dan ilegal. PKL dijadikan UMKM legal. PKL ilegal urusannya dengan Satpol PP. Setiap hari razia penertiban empat kali. Ben kapok (biar jera),” bebernya. Penataan PKL tidak semudah yang dibayangkan. Pemkot Surabaya membentuk pendamping dari PKL, sarjana hingga kerja sama dengan koran Jawa Pos. Sentra pedagang yang ada tidak hanya makanan. Adapula ikan hias dan lainnya.  “Pemerintah harus berperan aktif dan tegas. Hal ini perlu komitmen walikota dan dewan,” katanya. Bahkan, kata Hadi, saat ini sentra pedagang di Surabaya menjadi ikon pariwisata. Saat pedagang membayar retribusi, camat lurah ikut menandatangani bahwa yang bersangkutan warga Kota Surabaya. Menutupi kekurangan lahan, Pemkot Surabaya mewajibkan perkantoran swasta menyediakan lahan untuk PKL. Hal itu tercantum dalam perda Penataan PKL Surabaya. Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Kota Cirebon, Agus Saputra mengatakan, hasil studi banding ke Surabaya harus diterapkan. Agar PKL tidak terkesan kumuh. Karena itu perlu keterlibatan langsung pemerintah. “PKL dirangkul sebagai teman dan potensi perekonomian. Prinsip penataan sangat didukung. Tetapi harus jelas dan terarah,” ucapnya bersama asosiasi PKL UMKM lainnya yang ikut ke Surabaya. Tatik Mulyati, pedagang makanan minuman sentra kuliner Taman Prestasi menjelaskan, retribusi yang harus dibayarkan setiap bulan totalnya Rp250 ribu. Rinciannya, untuk sewa Rp60 ribu, sisanya untuk kebutuhan listrik, air, kebersihan dan keamanan. Di samping itu, setiap tiga bulan sekali Tatik memperpanjang izin berjualan. Pertama kali pindah ke Taman Prestasi, dua tahun digratiskan dari biaya retribusi tersebut. Setelah itu baru membayar Rp250 ribu perbulan. “Kami tidak keberatan,” terangnya. Sekarang Tatik senang di tempat baru. Bersama 40 pedagang lainnya, mereka membuat koperasi simpan pinjam dengan iuran pokok Rp500 ribu dan bulanan Rp50 ribu. Bahkan, Tatik sudah pernah mengikuti Rapat Anggota Tahunan (RAT) dan boleh meminjam ke bank maupun koperasi dengan nominal Rp5 juta. Penataan PKL Surabaya berhasil dengan komitmen bersama. (ysf)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: