Cerita dari Jl Evakuasi ke Gunungsari
Oleh: IING CASDIRIN DARI Jalan Evakuasi mau ke Cirebon Super Blok (CSB), biasanya macet di Jalan Pemuda. Lalu, kepikiran mendingan lewat pertigaan Sunyaragi terus ke Jalan Cipto, tapi nanti ketemu macet di lampu merah sampai depan Batiqa Hotel. Mungkin, lewat Jalan Kesambi saja, tapi biasanya padat kendaraan di depan RSUD Gunung Jati. Setiap hari, warga Kota Cirebon sudah mulai berhitung mau lewat jalan mana ketika hendak bepergian ke luar rumah. Memikirkan jalan agar tidak terkena macet itu penting agar suasana jalan-jalan tetap happy, bukan malah jadi pelampiasan emosi. Sadar atau tidak sadar, memilih jalan yang akan dilewati juga menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari, terutama yang mobilitasnya banyak di jalan. Kalau anda seorang salesman, urusannya sekarang bukan cuma memikirkan bagaimana caranya mencapai target penjualan, tetapi juga soal kelihaian memilih jalan agar cepat sampai tujuan. Ya begitulah memang. Kondisi Kota Cirebon sudah banyak berubah. Semakin sering macet. Tetapi kalau padatnya kendaraan dibawa sampai ke perasaan (baper), mungkin seminggu sekali kita akan masuk rumah sakit gara-gara tensi yang tinggi. Bagaimana tensi tidak naik jadi 170/100, kalau sedang menunggu kereta lewat di pintu perlintasan, jalur dua arah yang berlawanan sama-sama penuh dengan kendaraan. Mau lewat mana coba kalau puluhan kendaraan saling berhadap-hadapan? Belum lagi melihat tukang-tukang becak yang selalu menebar senyum saat melawan arah. Masa mereka senyum kita balas dengan marah? Senyumin aja lagi. Atau wajah (pura-pura) polos sopir angkot, saat berhenti menaikkan dan menurunkan penumpang di tengah jalan. Mungkin mereka benar-benar tidak tahu ada antrean kendaraan memanjang di belakangnya. Terus anda mau stres gitu? Jangan dulu! Itu baru dari karakter manusianya yang tidak tertib berlalu lintas. Belum soal sarana dan prasarananya yang juga tidak kalah amburadulnya. Selain macet di Jalan Cipto, anda juga harus menikmati jalan bergelombang di sana. Ada yang berlubang, tapi juga hati-hati karena ada penyempitan jalan. Lengkap, ada bergelombang, berlubang, penyempitan dan kemacetan. Proyek betonisasi yang hanya separuh jalan itu lama-lama bisa mengakibatkan separuh jiwamu pergi.Seperti judul lagu. Sampai kemudian dari Jalan Cipto kita berhenti di Lampu Merah Gunung Sari. Nah, di situ kadang kita merasa bingung. Perintah “Belok Kiri Jalan Terus”ke Jalan Tuparev sering tidak bisa dituruti karena banyaknya kendaraan yang parkir lampu merah.Lengkap dijaga oleh petugas parkirnya. Seolah-olah parkir di lampu merah pun boleh. Seolah-olah juga ini demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor parkir. Tapi kalau kita cek setiap tahunnya, PAD dari per-parkir-an tidak pernah menggembirakan tuh. Dan dalam rangka menaikkan PAD dari sektor parkir itulah, Dishubinfokom,-- dinas yang mengurusi soal parkir di Kota Cirebon,-- berencana untuk menaikkan tarif parkir. Motor dari Rp500 menjadi Rp1000, mobil dari Rp1000 menjadi Rp2000. Alamaaak, bukankah sudah bertahun-tahun ini kita bayar parkir motor selalu Rp1000, dan mobil Rp2000? “Tidak boleh kurang,” kata Mamang Parkirnya. Sampai di sini sudah stres belum? Sebaiknya, jangan stres dulu. Ini belum kita bertanya soal kemana larinya kelebihan uang parkir itu. Atau, tidak perlulah bertanya-tanya, karena kalau ditanya pun instansi yang berkaitan akan bilang baik-baik saja, seolah tidak ada keganjilan apa-apa. Terus tanya ke dewan, kira-kira tahu nggak ya? Mungkin mereka (tidak semua) masih sibuk menghitung SPPD fiktif, dibayar 3 hari berangkatnya 1 hari, dan tidak bocor ke media, apalagi sampai penyidik Kejari turun memeriksa. Bisa gawat. Jadinya, hidup di kota ini memang hanya perlu raga. Tidak perlu jiwa untuk merasa, apalagi sebagai ajang untuk mengasah estetika. Kita disuruh membaca reklame Asmaul Husna, tapi di sisi lain kita juga harus maklum ada reklame ilegal yang berdiri di sampingnya, yang tidak bisa dibongkar karena menunggu tandatangan sekda. Keterbukaan informasi yang didengungkan oleh pemerintah Kota Cirebon pun tidak lebih dari basa-basi. Sudah ada Komisi Informasi Pusat (KIP), yang dibentuk, tapi sekaligus juga dibiarkan untuk tidak bertaji. Tidak pernah ada sosialisasi, bagaimana masyarakat tahu dan berani menuntut keterbukaan informasi. Dalam sejarah pembentukan “Komisi”, Kota Cirebon bisa dibilang selalu “nomer siji”, tetapi sayang, setelah itu mati. Kita ingat dulu, ada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID) Cirebon, yang daerah lain di Indonesia belum ada. Lembaganya tidak bertahan lama, orang-orangnya entah pergi kemana, padahal kita belum tahu apa yang sudah dikerjakannya. Lalu soal apa lagi? Sudahlah, cukup sampai di sini. Kalau diperpanjang takut ada masalah dengan tensi. Bukan cuma tensi saya, tetapi juga pejabat yang sedung menunggu pengumuman mutasi beberapa saat lagi. Waktu yang pas mutasi memang menjelang Idul Fitri, tahu kan? (*) Penulis, pengasuh radarcirebon.com
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: