Kasus Aop Berpotensi Disparitas Hukum
MAJALENGKA - Tidak dimunculkannya pasal penganiayaan dalam dakwaan Iwan Himawan bin Santani, bagi akademisi Hukum Universitas Majalengka, Otong Syuhada SH MH, dapat berpotensi memunculkan disparitas (ketidakpercayaan) hukum di masyarakat. Kepada Radar, kemarin (24/6), Otong menilai jika penanganan kasus yang sebenarnya memiliki unsur penganiayaan terhadap guru Aop Saopudin, namun terkesan diabaikan pencantuman pasalnya, dapat menimbulkan asumsi keberpihakan aparat penegak hukum yang menangani kasus tersebut. “Kita lihat dulu kronologisnya berdasarkan alat bukti dan saki-saksi. Yang diutamakan dalam pembuktian kasus penganiayaan, adanya bukti fisik pada tubuh seseorang, yang ditunjukkan oleh visum et repertum. Bukti visum tersebut dikuatkan pembenaran dari saksi-saksi,” jelas Otong. Ditegaskan, jika kondisi sebenarnya si pelapor bisa menunjukkan alat bukti tersebut, maka tidak ada alasan bagi penyidik untuk tidak mencantumkan atau mengesampingkan pasal penganiayaan dalam proses penyidikan yang dilakukan. Bahkan, Otong menilai jika hal ini diabaikan baik sengaja maupun tidak sengaja, dikhawatirkan ketidakpercayaan masyarakat, khususnya pelapor terhadap aparat penegak hukum bisa merosot. Oleh karena itu dia menilai wajar, para guru dan masyarakat simpatik ke Aop, karena melihat Aop dalam posisi dizalimi alias dirugikan. Namun, terlepas dari teori tersebut, Otong beranggapan sah-sah saja jika penyidik menyimpulkan kasus tersebut tidak memenuhi unsur penganiayaan. “Kalau tidak memenuhi unsur penganiayaan, mungkin saja pelapor tidak memiliki kecukupan alat bukti maupun saksi-saksi. Tapi kalau untuk kasus ini, saya tidak tahu pasti yang terjadi sebenarnya,” ujar dia. Mengenai laporan balik Iwan Himawan yang tidak terima anaknya dirapikan rambutnya oleh guru Aop, Otong merasa hal tersebut sah-sah saja dilakukan Iwan, karena merupakan hak setiap warga negara. Namun, jika kabarnya para guru menilai tindakan Aop tidak layak dibawa ke ranah hukum karena dilindungi Undang-Undang Guru dan Dosen, kontradikrif dengan laporan Iwan yang menganggap tindakan Aop telah melanggar UU perlindungan anak. Dalam posisi seperti ini, lanjut Otong, kedua belah pihak sama-sama berhak melaporkan. Tetapi, tambah Otong, jika mengacu pada kaidah hukum dan asas ditetapkannya hukum maupun peraturan perundangan, untuk hal ini bisa digunakan asas lex spesialis dalam penetapannya. Asas tersebut, sambung Otong, dapat mengutamakan atau mendahulukan penerapan peraturan (UU) yang sifatnya khusus, dan mengenyampingkan atau mengakhirkan penerapan peraturan lainnya yang sifatnya lebih umum. Jika sudah sama-sama dijalankan dan menemui titik buntu, maka sah-sah saja jika pihak-pihak yang dirugikan membawa permasalahan tersebut ke ranah Mahkamah Konstitusi (MK). Namun Otong menegaskan tidak menyarankan langkah ini, dan lebih menyarankan agar kedua belah pihak mengupayakan perdamaian. Anjuran upaya perdamaian Aop dan Iwan, juga didukung Ketua Komisi D DPRD Majalengka, Ir Nana Surhana. Menurutnya, jika diruntut permasalahannya antara kedua pihak yang berseteru, pasti sangat sulit menentukan keputusan yang adil bagi kedua belah pihak. Bahkan, Nana juga setuju jika hal ini bisa saja diputuskan ketetapannya ke ranah MK, namun tidak menganjurkanya. “Memang kalau mau diambil keputusan, peraturan mana yang bertabrakan dengan keputusan lainnya, harus dibawa ke MK. Tapi saya sarankan gak usah jauh-jauh ke sana. Mendingan diselesaikan secara adat dan kekeluargaan saja,” imbuh anggota Fraksi Golkar ini. (azs)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: