Biaya Kampanye Pilkada Ditanggung Kandidat dan Parpol

Biaya Kampanye Pilkada Ditanggung Kandidat  dan Parpol

JAKARTA- Perubahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) resmi disahkan kemarin (2/6). Lewat pembahasan maraton selama 47 hari, sejumlah poin revisi termuat dalam perubahan kedua UU No 1 Tahun 2015 tersebut. Salah satunya soal sejumlah metode kampanye yang tidak lagi didanai APBD. Berdasar hasil revisi, pendanaan metode kampanye berupa penyebaran bahan kampanye kepada umum dan pemasangan alat peraga kini dialihkan pendanaan dan pelaksanaannya pada pasangan calon atau partai politik (parpol). Termasuk, yang juga dapat didanai adalah pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka. “Komisi II dan pemerintah sepakat bahwa kampanye adalah wujud pendidikan politik bagi masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggungjawab, karena itu dibuka ruang peran serta pasangan calon dan parpol,” tutur Ketua Komisi II Rambe Kamarulzaman, usai sidang paripurna pengesahan revisi UU Pilkada, di Kompleks, Parlemen, Jakarta, kemarin. Pada Pilkada serentak 2015 lalu yang mengacu pada UU Pilkada lama, pengadaan alat peraga dan bahan kampanye menjadi bagian yang ditanggung APBD. Dasar penerapan aturan tersebut adalah tentang equal treatment terhadap setiap calon. Bahwa, tidak ada pasangan calon kaya sehingga bisa jor-joran atau yang tidak kaya. Namun, ketentuan yang tujuannya semula positif itu punya implikasi kurang baik. Pesta demokrasi di tingkat daerah pada 2015 lalu relatif sepi. Bahkan hampir tiada greget. Kampanye yang tidak bisa total juga bisa lebih menguntungkan incumbent yang punya kekuatan politik lebih mapan. ”Ini yang coba dijawab dengan revisi terakhir,” imbuh Rambe. Beriringan dengan ketentuan tersebut, UU Pilkada yang baru juga memuat perubahan besaran sumbangan dana kampanye. Ada peningkatan batas sumbangan perseorangan. Yaitu dari maksimal Rp50 juta menjadi Rp75 juta. Begitupun dengan badan hukum yang juga meningkat dari Rp500 juta ke Rp750 juta. Proses pengesahan hasil revisi UU Pilkada tersebut relatif berlangsung mulus. Meski, sempat muncul interupsi yang disampaikan sejumlah perwakilan fraksi. Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan yang memimpin sidang tidak butuh proses berbelit untuk mengetukkan palu tanda disahkannya hasil revisi. Selain soal kewajiban mundur bagi anggota dewan, pembahasan revisi UU Pilkada juga sempat menyentuh poin-poin lainnya seputar mekanisme pengajuan pasangan calon, baik dari partai politik maupun perseorangan. Meski, tidak semuanya mengalami perubahan. Syarat bagi calon independen, misalnya. Walaupun sempat didorong kencang oleh sejumlah fraksi untuk dinaikkan, pada akhirnya syarat tetap tidak berubah. Mayoritas fraksi akhirnya mengikuti pandangan pemerintah terkait hal tersebut. Begitupun dengan persentase syarat pengajuan calon oleh partai politik. Meski awalnya, hampir semuanya mendorong untuk diturunkan menjadi hanya minimal 15 persen suara di pemilu sebelumnya atau 20 persen dari jumlah kursi di DPRD. Namun terakhir hanya tersisa 4 fraksi yang mempertahankan pandangan tersebut. Selain Fraksi PKS dan Gerindra, Fraksi Demokrat dan PKB juga bertahan. Kesepakatan terakhir lagi-lagi mengikuti pandangan pemerintah yang menginginkan syarat tetap pada minimal 20 persen suara di pemilu sebelumnya atau 25 persen dari jumlah kursi di DPRD masing-masing daerah. Suara empat fraksi tersebut sekadar menjadi catatan. Sedangkan di antara yang mengalami perubahan adalah dihapuskannya sanksi bagi parpol yang tidak mengajukan calon. Pada UU Pilkada sebelumnya partai atau gabungan partai yang tidak mengajukan calon dikenai sanksi tidak boleh mengajukan pasangan calon pada pilkada berikutnya. Sementara itu, menyikapi keputusan pengesahan yang berhasil dilakukan, pemerintah memastikan bakal menggunakan hasil revisi UU Pilkada itu untuk jangka panjang. “Kalau ini sudah diketok, sampai 2019 pemerintah tidak akan mengajukan RUU baru untuk pilkada,’’ terang Seskab Pramono Anung di kantornya kemarin (2/6).  (jpg)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: