Hati-hati, Menjemur Murid Bisa Dipidana
Hati-hati memberikan sanksi kepada anak didik. Salah-salah guru bisa dilaporkan ke pihak berwajib, bahkan mendekam dibalik jeruji besi. PERKEMBANGAN dan perlindungan hak anak, mau tidak mau harus diikuti dengan beragam penyesuaian. Termasuk, soal penjatuhan sanksi kepada murid yang melanggar aturan. Guru pun diminta tetap mengedepankan semangat mendidik dan aturan, termasuk menghadapi murid yang kerap berbuat onar. Kapolres Cirebon Kota, AKBP H Indra Jafar SIK melalui Kepala Satuan Reserse dan Kriminal, AKP Dadang Sudiantoro SH MH mengatakan, prinsip polisi ialah setiap orang kedudukannya sama di mata hukum. Termasuk guru ataupun anak didiknya. Bila terjadi konflik, kepolisian tidak bisa menolak laporan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang bermasalah. “Salah kalau ada laporan kita tolak. Semua laporan harus diterima, tetap nanti hasil penyelidikan yang menentukan,” uajr Dadang, kepada Radar, di ruang kerjanya. Dadang menekankan, tidak selamanya yang dilaporkan menjadi tersangka. Bila alat bukti tidak terpenuhi, penyidik akan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Agar para guru tidak terjerat kasus hukum, Dadang menyarankan agar para guru mengetahui porsi dan profesinya sebagai pendidik. “Saya yakin disetiap sekolah ada aturannya. Aturan itu harus disampaikan ke siswa dan orang tua murid dan ditegakkan,” tuturnya. Pemberian sanksi tanpa dilandasi aturan, kata Dadang, justru akan menjadi boomerang untuk seorang guru. Dia mencotohkan, ketika seorang guru memberikan hukuman dengan menjemur anak didiknya di lapangan upacara, kemudian murid tersebut pingsan dan sakit sehingga harus dirawat di rumah sakit. Situasi ini bisa berbuntut masalah hukum. Apalagi, bila orang tua murid tidak terima dan melaporkan guru tersebut kepada polisi. “Kan bisa dilihat, mana yang tujuannya mendidik, mana yang tujuannya menyakiti secara fisik,” tandasnya. Bila murid sudah tidak bisa didik, sambung dia, jalan satu-satunya adalah dikembalikan kepada orang tua. Atau, setidaknya meminta bantuan orang tua untuk membantu anaknya. Dengan cara ini, tugas guru sendiri akan terbantu. Apalagi, peran serta orang tua dalam proses pendidikan merupakan hal yang mutlak. “Di sekolah itu waktu terbatas, di rumah juga. Karakter anak itu banyak terbangun justru dari pergaulan di luar sekolah. Inilah kenapa peran serta orang tua itu juga penting,” katanya. Diceritakan Dadang, banyak sekali kasus-kasus yang melibatkan anak sekolah terkait tindak kriminal. Bahkan hampir setiap pekan beberapa remaja tersandung kasus hukum. Ada yang ikut geng motor, bawa senjata tajam hingga mabuk-mabukan. Bila guru menemukkan hal seperti ini, disarankan untuk menggunakan aturan yang berlaku di sekolah. Kuncinya, ketegasan dalam penegakkan aturan. Kemudian, sekolah juga dituntut untuk mengoptimalkan fungsi guru bimbingan dan penyuluhan (BP). Biasanya, guru BP dijabat oleh pendidik yang memiliki spesialisasi khusus. Guru BP sudah seharusnya mampu dan memahami bagaimana penanganan berbagai kenakalan remaja di sekolah secara bijak. Tapi, tidak lepas dari fungsinya sebagai pendidik. Dengan penegakkan aturan, lanjut dia, guru juga dituntut untuk tidak mudah terprovokasi. Sebab, dengan era seperti sekarang ini, anak-anak punya perlindungan aturan yang sangat istimewa. Di tempat terpisah, Rektor Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), Prof Dr H Khaerul Wahidin MAg menjelaskan, pemberian sanksi hukuman kepada pesera didik merupakan bentuk agar murid dapat belajar disiplin. Namun, berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 20/2003, diamanatkan bahwa proses pendidikan harus didukung oleh keluarga. Tanpa adanya dukungan keluarga, akan sulit mencapai keberhasilan. Orang tua maupun guru memiliki peran masing-masing untuk memajukan pendidikan. “Ketika orang tua telah menitipkan anaknya ke sekolah, sudah sepenuhnya mempercayakan anaknya kepada gurunya,” tuturnya. Menurut Khaerul, sekolah merupakan tempat siswa menimba ilmu pengetahuan. Tapi, belakangan ini guru kerap menjadi serba salah ketika menerapkan sanksi hukuman. Sehingga, sudah semestinya pemberian sanksi dipertimbangkan matang sesuai dengan aturan yang berlaku. “Prinsipnya tanpa menggunakan kekerasan fisik, psikis maupun mental,\" katanya. Tuan disiplin sekolah, dikatakannya, untuk memelihara perilaku siswa agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan tata tertib. Dalam rangka meningkatkan disiplin dan rasa tanggung jawab siswa di sekolah, seorang guru harus menjelaskan kepada siswa peraturan dan konsekuensinya bila terjadi pelanggaran. Konsekuensi ini dilakukan secara bertahap dimulai dari peringatan, teguran, menghadap kepala sekolah, menghadap guru BK dan atau dilaporkan kepada orang tuanya. Pelaporan kepada orang tua menjadi kunci keberhasilan penerapan sanksi. Dalam hal ini, orang tua juga mestinya memahami kesalahan yang dilakukan anak. Kemudian, membantu menasihatinya agar dapar berubah untuk berbuat lebih baik. Guru Bimbingan Konseling SMPN 10 Kota Cirebon, Nurlaeli Handayani SPd menyampaika,n bentuk sanksi hukuman yang diberikan oleh guru kepada siswanya yang berbuat salah atau melanggar ialah bentuk pembelajaran. Sanksi yang diberikan sama sekali tidak ada maksud untuk menyakiti apalagi melukai. “Kami hanya ingin agar anak didik kita menjadi manusia yang baik dan bertanggungjawab,\" ujarnya. Sementara itu, terkait tidak terimanya orang tua murid atas bentuk hukuman, sebetulnya lebih kepada persamaan persepsi. Harus ada koordinasi dan penyamaan persepsi terkait bentuk pendidikan antara di keluarga dan sekolah. Begitupun dengan pemberian punishment. “Pemberian hukuman tak ada maksud untuk menyakiti, tapi ya itu tadi ini demi kebaikan peserta didik,\" tukasnya. (via)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: