Prancis, Bapak Kandung Sepak Bola Modern

Prancis, Bapak Kandung Sepak Bola Modern

MENJELANG Piala Dunia 2002 yang digelar di Korea Selatan dan Jepang lalu, Sepp Blatter Presiden FIFA saat itu, melontarkan “bola api” dengan pernyataannya bahwa sepak bola sebenarnya berasal dari Benua Asia. Tentu saja banyak yang terperangah. Bahkan Inggris langsung meradang. Britania Raya menuduh Blatter menyebarkan ajaran sesat. Maklum saja, mereka sejauh ini telah diakui sebagai tempat asal muasal permainan terpopuler sejagat tersebut. FIFA buru-buru mengklarifikasi bahwa statemen ini tak lebih sekadar ungkapan pribadi saja, bukan produk resmi lembaga sepak bola dunia. Dalil ungkapan Blatter yang menghebohkan itu sebenarnya cukup sederhana. Bahwa beberapa abad sebelum hitungan masehi dimulai, pada kerajaan-kerajaan kecil di daratan Tiongkok (juga di jasirah Korea dan kepulauan Jepang), telah dikenal suatu permainan elite yang dimainkan dua tim berlawanan, dengan filosofi menyerang dan memasukkan suatu benda bulat yang lunak dan kenyal ke dalam target gawang tertentu. Konon, anggota badan pemain yang boleh digunakan dalam permainan tersebut adalah kaki, boleh kanan dan kiri serta kepala, namun mengharamkan tangan. Permainan ini hanya dikenal kalangan tertentu di balik tembok istana, bukan pemainan jelata sehingga tingkat kepopulerannya sangat rendah. Permainan ini lebih ditujukan sebagai hiburan kepada keluarga kerajaan, dan biasanya dimainkan oleh para prajurit sebagai kemeriahan setelah menang berperang. Jika hal tersebut diangkat Blatter sebagai dasar ungkapannya bahwa itulah embrio permainan sepak bola, tentu saja sangat dangkal dan terlalu gegabah. Apalagi tidak ada hipotesis ilmiah dan belum ada bukti empiris yang diyakini. Kalaupun ada, cuma sekadar gambar lukisan dengan narasi beberapa beberapa orang lelaki berkostum resmi kerajaan tengah memperebutkan benda bulat yang tak jelas mau mereka apakan. “Bola api” Blatter akhirnya padam tanpa harus menjadi bola liar. Publik sepak bola yang sportif dan fair play, menganggap selorohan Sepp Blatter tak lebih penyanjungan dan rasa terima kasih FIFA kepada tuan rumah Korea dan Jepang. Perlu diketahui, saat itu Sepp Blatter punya obsesi menduniakan sepak bola dengan rencana menggelar event World Cup secara merata di lima benua. Suatu cita-cita mulia yang belum berhasil diwujudkan pria kelahiran Swiss itu, hingga saat dia diturunpaksakan dari jabatannya sebagai Presiden FIFA pertengahan tahun lalu. Sebagai catatan, hanya Benua Australia yang belum kebagian jatah tuan rumah penyelenggara World Cup. Harapan Australia sebagai tuan rumah World Cup 2022, kandas dirampas Qatar. Suatu putusan FIFA yang kontroversial, dan ironisnya menjadi salah satu skandal yang menyebabkan lengsernya Sepp Blatter sendiri. Selain versi itu, ada pula versi kuno lainnya yang menyebutkan permainan sepak bola berawal di Italia. Negeri yang kerap menjadi ajang pertarungan kaum proletar dengan kelompok borjuis itu punya cerita mengerikan. Bahwa para ningrat yang dibenci rakyat jelata karena kesenjangan ekonomi, pada situasi kacau, chaos, dipenggal kepalanya dan dijadikan bola sepak sebagai pelampiasan dendam. Sungguh kisah ekstrim ini dihindari sebagai versi resmi, yang lebih mengedepankan sepak bola sebagai permainan santun dan beradab. Kembali kepada kithah bahwa sepak bola modern berasal dari daratan Inggris Raya, memang sejauh ini diaminkan sebagai dogma yang direstui FIFA. Inggris (dan Skotlandia serta kroni Britania-nya) diyakini sebagai tempat dimana sepak bola modern dimainkan secara tertata. Penetapan 10 orang pemain dan 1 penjaga gawang dalam satu tim, kostum dan kelengkapan sepatu serta kaos kaki sebagai standar permainan, rule of the game dan rule of the competion, seorang wasit dan dua pembantunya, semua diyakini adalah rumusan abadi yang diterapkan pertama kali oleh Inggris. Inggris begitu sombong dengan predikatnya sebagai tanah kelahiran sepak bola. Bahwa dengan begitu arogannya mereka kemudian mengklaim diri sebagai Ibu Kandung sepak bola modern. Pada saat Euro 1996 digelar di Inggris, slogan “Football Come Home” dikerek jauh ke atas langit harapan karena mereka yakini bakal tampil sebagai juara. Kanyataannya, Inggris (lagi-lagi) takluk di kaki Jerman (Barat). Ini kali kedua Si Badut Paul Gascoigne menumpahkan air mata di lapangan seperti saat semifinal Piala Dunia 1990 di Italia. Tahun 2016 ini, kali kedua Prancis berlaku sebagai tuan rumah perhelatan sepak bola tertinggi level Eropa. Tahun 1984 di negerinya sendiri, Michels Platini memimpin Prancis menjadi juara Eropa. Tradisi juara bagi Prancis diteruskan Zinedine Zidane hingga Piala Dunia 1998 (juga) di negerinya sendiri dan Euro 2000 di Belgia-Belanda. Menilik kiprah perkembangan sepak bola modern di dunia, Prancis adalah katalisator sekaligus organisatornya. Suka atau tidak, Prancis adalah penggagas sejati Piala Dunia dan Euro (dulu dikenal sebagai Piala Eropa). Robert Guerin, Jules Rimet dan Hendry Delaunay adalah tiga dari sekian banyak alasan mengapa sepak bola modern tidak bisa dipisahkan dari aroma keprancisan. Bahkan sejak sepakbola belum mengenal Piala Dunia, orang-orang organisatoris olahraga Prancis, termasuk Robert Guerin (Presiden FIFA pertama) dan Jules Rimet (Presiden FIFA terlama), adalah pihak yang paling ngotot mendesak IOC (Komite Olimpiade) memasukkan sepak bola sebagai cabang olahraga wajib di awal abad 20. Dan sejak itu, sepak bola betul-betul mendunia bahwa seringkali tampil sebagai cabang terpopuler untuk pembukaan dan penutupan pesta olahraga multicabang. Jadi harap maklum dan lapang dada. Paham Chauvinism Prancis lagi-lagi mengemuka. Bahwa lelaki Prancis yang flamboyan serta perempuan Prancis yang romantis, dengan menepuk dada dan senyum menggoda, selalu berseloroh bahwa Inggris boleh saja mengaku sebagai Ibu Kandung dan rumah sepak bola modern, tapi sesunggunya Prancis lah Bapak Kandungnya. Dengan tandas mereka berdalil, itulah sebabnya mengapa Piala Dunia awal dinamakan Jules Rimet Cup. Dan itu pula sebabnya Piala Eropa (Euro) bertajuk nama Hendry Delaunay. Bukan hanya itu, Hendry Delaunay pula yang membangun gagasan Piala Champions yang sekarang lebih dikenal dengan Champions League, kejuaraan antarklub juara Eropa yang diyakini paling bergensi dan teragung sedunia. Dan satu kepastian lagi yang tak terbantahkan, bahwa FIFA adalah singkatan dari bahasa Prancis Federation Internationale de Football Association. Sekarang 2016 saat Euro digelar di Prancis, seolah bahwa sepak bola modern kembali ke rumah bapaknya. Dan dengan sentimental sekaligus genit, Prancis mengusung tagline yang sangat romantis, Le Rendez-vuos. Oh..lala…. (kurniadi pramono)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: