Italia tak Pernah Berubah, Catat Itu!

Italia tak Pernah Berubah, Catat Itu!

Oleh : Kurniadi Pramono NAIK-TURUN, pasang-surut atau up and down-nya sepak bola Italia di dunia, hanya soal nama pelatih dan menuanya usia para pemain, serta terbitnya para bintang baru. Selebihnya, tim sepak bola Italia tak pernah berubah, selalu konsisten pada penampilan mode atau seni bertahan (yang indah). Walau diakui kadang membosankan sebagai tontonan dan hiburan, tetapi sepak bola Italia selalu menjadi warna dominan di setiap turnamen besar seperti Euro, bahkan Piala Dunia. Terserah mau terima atau tidak, Italia yang selalu dicemooh dan diejek dengan sepak bola bertahan bagaikan banci, tetap difavoritkan sebagai tim kandidat juara, termasuk di Euro 2016 ini kali. Bolehlah catat hal itu! Entah bagaimana awalnya, para pelatih sepak bola Italia sangat suka memuji para back dan gelandang bertahannya daripada striker. Seusai laga final Piala Dunia 1982 yang dimenangi Gli Azzurri 3-1 atas Jerman (Barat), pelatih Enzo Bearzot, memeluk pahlawan Italia Paolo Rossi dan menepuk pipinya berkali-kali. Tapi di hadapan para wartawan sepulangnya ke Roma, dia selalu menyebutkan kiper tua Dino Zoff, pasukan back elite Claudio Gentile, Antonio Cabrini, Franco Baresi, Giuseppe Bergomi dan gelandang kuda Marco Tardelli serta Bruno Conti sebagai pemain kunci (baca: gerendel) kemenangan Juara Dunia 1982. Dan saat wartawan menanyakan nama Paolo Rossi dan dan Alessandro Altobelli, dengan tenang Anzo Bearzot, pelatih legendaris dengan topi baretta, itu menjawab, “Mereka telah dipuji seluruh dunia lewat laporan para wartawan. Semua orang sudah melihatnya di televisi. Buat apa saya melebihkannya lagi?”. Melihat rekam jejak Italia, juara Eropa 1968 dan empat kali juara dunia (1934, 1938, 1982 dan 2006), tentu melahirkan kekaguman tersendiri. Wajar jika kesedihan kemudian muncul tatkala keluar hujatan para pengamat yang memengaruhi publik sepak bola. Bahwa Italia dianggap menyebarkan faham anti-sepak bola atau sepak bola negatif bahkan ultra-defensive football. Cattenaccio, orang Italia sendiri menyebutnya. Betul memang, permainan sepak bola, filosofis dasarnya adalah menyerang dan menciptakan gol ke gawang lawan. Bukan bertahan menggagalkan serangan lawan untuk kemudian menyerang balik tiba-tiba. Bagi yang men-dogma-kan sepak bola menyerang, mereka membuat kalimat sederhana yang mudah dimengerti para pemain dan penonton sepak bola. Menyerang adalah cara bertahan yang paling baik. Benar, sepak bola menyerang memang atraktif dan enak ditonton. Sepak bola modern mengenal gaya MW yang mengadopsi cara main umpan panjang dan silang atau diagonalitikal khas Britania Raya. Kemudian dimodifikasi secara radikal menjadi totaalvoetbal oleh Belanda. Muncul juga versi gemulai tarian samba Brasil, yang bermain variasi umpan pendek dalam ritme permainan dinamis. Dan terakhir disempurkan menjadi seni tiki-taka ala Spanyol, yang konon merupakan esensi dari banyak ajaran offensive football. Namun para dedengkot zaman baheula di Italia, justru membuat paradigma sendiri. Soal menyerang dan bertahan, Romawi adalah mahaguru dalam soal strategi berperang. Itu tak terbantahkan. Kemenangan gemilang tak akan bisa diraih, apabila tak lebih dahulu dibangun benteng tempat bertahan yang kokoh. Dan secara detail, persoalan membangun benteng pertahanan ada pada titik penting membuat kunci gerendel, cattenaccio. Dan kata banyak orang, kunci gerendel terbaik di dunia, dibuat di Italia. Hingga sekarang, dalam soal perang di dalam sepak bola pun, di Euro 2016 ini, tampaknya Italia tetap memainkan pola dominan bertahan, mengunci pergerakan pemain lawan dan menggerendel area pertahanan, cattenaccio. Namun pelatih Antonio Conte hingga detik-detik terakhir pembentukan tim Italia, mengakui masih punya persoalan dalam kepercayaan pada ujung tombak yang menjadi target serangan balik. Simone Zaza (Juventus), Lorenzi Insigne (Napoli), Citadin Martins Eder (Inter Milan) dan Ciro Immobile (Torino) dianggap masih labil, dan hanya Graziano Pelle (Southhampton) yang tampaknya akan dipercaya oleh Conte. Tapi lucunya, kerumunan wartawan sepak bola Italia, berseloroh dengan gaya khas membuka dua telapak tangan di depan dada sambil mengangkat bahu. “Buat apa pusing kepala, toh dia sudah punya cukup banyak pemain belakang, kan?”, Dengan hampir dipastikannya back trio Juventus: Giorgini Chiellini-Andrea Barzagli-Leonardo Bonucci, turun memperkuat barisan belakang Italia, tampaknya seluruh persoalan Italia dianggap sudah selesai. Selebihnya, serahkan ke tangan Tuhan. “Amin,” kata para wartawan kompak. Kondisi yang bertolak belakang terjadi pada persiapan Belgia, kompetitor Italia di Grup E. Pelatih Marc Wilmots justru dikritik pedas karena dianggap kekurangan pemain depan. Padahal dia punya calon delapan nama, Christian Benteke dan Divock Origi (Liverpool), Romelu Lukaku (Everton), Kevin de Bruyne (Manchester City), Eden Hazard (Chelsea), Dries Martens (Napoli) dan Yannick Carrasco (Atletico Madrid) serta Michy Batshuayi (Olympic Marseille). Lain lagi, Eric Gerets, mantan back terbaik yang membawa Belgia sampai ke semifinal Piala Dunia 1986. Dia pernah mengemukakan persoalan klasik di tubuh tim Belgia, bahwa mereka tidak pernah memiliki gelandang serba bisa. Mungkin kebutuhan gelandang yang dimaksud Eric Gerets akan terjawab dengan kehadiran Radja Nainggolan (AS Roma) dan Marouane Fellaini (Manchester United) serta Mousa Dembele (Tottenham Hotspur) dan Axel Witsel (Zenit). Dan dalam keadaan urgent, Wilmot masih punya Thomas Vermaelen (Barcelona) yang difungsikan sebagai back aktif di area tengah. Jadi, pertemuan Belgia dan Italia ini bisa dianggap paling krusial di Grup E, apalagi ini mengingat pertempuran dua kiper terbaik di dunia dari dua generasi berbeda. Kiper Italia Gianluigi Buffon (Juventus) dan penjaga gawang Belgia Thibaut Courtois (Chelsea). Terus terang, dengan sangat berat hati mengatakan, jika salah satu dari mereka Italia atau Belgia harus tersingkir dari penyisihan sebelum babak 16 besar. Tentu saja ini jangan dianggap sebagai bentuk pelecehan kepada Irlandia dan Swedia. Tim Skandinavia Swedia dan tim Britania Irlandia bukan barang murahan. Mereka lolos kualifikasi dengan cara terhormat sehingga juga sangat pantas disejajarkan dalam soal peluang lolos dari grup neraka ini, walaupun harus diakui pula –hapunteun– mereka berdua belum level favorit juara seperti halnya Italia (dan Belgia). (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: