Tito Jarang Pulang, Tapi Sering Telepon Tanya Kondisi Ayahnya
KOMJEN Tito Karnavian adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara pasangan H Achmad Saleh dan Hj Kardiah. Tiga saudaranya adalah Prof Dr Diah Natalisa MBA, DR Iwan Dakota SpIP, dan Dr Fifa Argentina SpKK. Kemarin, Sumatera Ekspres (Radar Cirebon Group) bertandang ke kediaman Achmad Saleh di Jalan Sambu No 36 RT 02 RW 01, Palembang. Meski usianya sudah 78 tahun, Achmad Saleh tetap lancar menceritakan masa kecil Tito Karnavian. Mengenakan kaos oblong putih bertuliskan Jakarta Tempo Doeloe, cerita pun mengalir dari mulut pria kelahiran Lubuklinggau, 28 Agustus 1938. “Sejak kecil, Tito itu orangnya disiplin. Punya semangat tinggi,” kata Achmad Saleh. Pernah suatu ketika, Tito diajak teman-teman sebayanya nongkrong di Garuda (bioskop Garuda, salah satu bisokop yang pernah populer di Palembang saat itu). “Tapi, dia tidak mau main atau ikut nongkrong kalau tugas sekolah atau PR-nya belum selesai dikerjakan. Pokoknya, tugas harus selesai dulu, baru dia mau main,”sambungnya. Semasa kecil pula, lanjut Saleh, Tito juga senang main perang-perangan. Menurut Saleh, ketika main perang-perangan, Tito kecil tidak mau “mati” ketika kena tembak oleh teman-temannya saat perang-perangan tersebut. “Kata Tito, yang kena tembak cuma tangannya. Jadi, mana bisa mati,”sambungnya. Dua kata dari nama Tito Karnavian, lanjut peraih Ismail Djalili Award pada 27 Oktober 2014 lalu, diambil dari 2 sumber. Tito, lanjut Saleh, diambil dari nama Presiden Yugoslavia, Joseph Broz Tito yang punya hubungan pertemanan sangat akrab dengan Presiden Soekarno. Kedua Presiden ini, lanjut Saleh, adalah penggagas Gerakan Non-Blok pada 1961. Kebetulan, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok pertama diadakan di ibu kota Yugoslavia, Beograd. “Saya mengagumi Joseph Broz Tito dan Soekarno,” lanjujtnya. Sedangkan Karnavian diambil dari kata Karnaval. “Saya juga sering mengurusi karnaval mahasiswa. Salah satunya karnaval di Pusri. Jadi, Karnavian itu saya ambil dari kata Karnaval,” lanjut mantan penyiar Radio Republik Indonesia (RRI). Tito juga gemar membaca. Terutama cerita-cerita petualangan atau kepahlawanan di Amerika. “Cerita-cerita detektif, dia juga senang. Dia memang rajin membaca. Sekolahnya, dari SD hingga SMA semuanya di Palembang,” lanjutnya. Tito bersekolah SD di kawasan Tangga Buntung 36 Ilir. Kemudian pindah sekolah ke SD Xaverius 4 Palembang hingga ke tingkat SMP Xaverius 2 Palembang. Sedangkan untuk sekolah tingkat SMA, Tito bersekolah di SMA Negeri 2 Palembang. \"Sama seperti anak-anak yang lainnya, Tito juga suka main layangan. Tapi sebelum pindah di rumah ini, kami sekeluarga pernah tinggal di Tangga Buntung 36 Ilir. Jadi masa kecil Tito itu sering sekali berenang di Sungai Musi bersama teman-teman sebayanya. Tito kecil dulu bisa menyeberangi Sungai Musi,\" ujar Saleh. Dari masa kecil hingga masa remaja Tito, Saleh mengatakan, Tito memang anak yang memiliki tekad kuat dan komitmen dalam setiap usaha yang dijalaninya. Bahkan memiliki rasa persaudaraan yang tinggi dengan saudara-saudaranya. \"Selain disiplin, Tito juga mandiri. Dia aktif pramuka. Setelah SMA, Tito memilih masuk Akabri,\" ujar Saleh. Terhadap Tito, Saleh pernah khawatir. Bukan khawatir karena penangkapan yang dilakukan Tito terhadap dua gembong teroris Azhari Husein (tahun 2005) dan Noordin M Top (2009), tapi khawatir saat Tito memimpin Polda Papua. “Saya khawatir dengan ancaman separatis di Papua. Deg-degan, apalagi medan di Papua itu sangat berat. Tapi, alhamdulillah dua tahun tugas di Papua selesai juga,” katanya. Meski jarang pulang, lanjut Saleh, Tito selalu rutin menanyakan kesehatan dirinya. “Kami juga maklum dengan tugasnya yang begitu banyak,” sambugnya. Hanya satu pesan Saleh pada anaknya. Yaitu, jalani tugas dengan dengan penuh tanggung jawab. “Tidak usah pedulikan persaingan. Terima apa adanya. Jika diberi amanah, jalani dengan tanggung jawab,” katanya. (vis)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: