Jangan-jangan Inggris Cuma Menang Berita
Oleh : Kurniadi Pramono SEJAK Sir Alf Ramsey mempersembahkan Piala Jules Rimet kepada Ratu dan Rakyat Inggris tahun 1966 sebagai juara dunia, The Football Association (FA) Inggris sudah 15 kali menggonta-ganti pelatih tim nasional. Dua orang di antaranya pelatih asing: lelaki flamboyan asal Swedia Sven Goran Eriksson (2001-2006) dan pria berhidung besar dari Italia, Fabio Capello (2008-2012). Hasilnya, hanyalah nothing. Jangankan juara dunia, di kawasan Eropa pun Inggris tak pernah berjaya. Paling tinggi cuma sekadar level semifinal (1968 dan 1996). Lalu kenapa Inggris dengan kerlap-kerlip liga profesionalnya yang kaya raya, seolah bisa dianggap sebagai kiblat kemajuan dan kemakmuran dunia sepak bola saat ini? Franz Beckenbauer, legenda Jerman (Barat), seakan mengoloknya dalam kolom tulisan di salah satu surat kabar berpengaruh. “Dalam ajang apapun, kita dapat menyimpulkan bahwa uang dalam jumlah besar yang mengalir di klub Inggris belum menghasilkan pencapaian apa pun,” demikian kata mantan pemain (1974), pelatih (1990) dan organisatoris (2006) pemenang Piala Dunia itu. Terlepas dari sikap arogansi khas ras Aria Jerman yang selalu merasa lebih unggul daripada musuh bebuyutanya (Inggris, Belanda, Italia, dan Spanyol serta Prancis, juga Brasil dan Argentina), cibiran libero terbaik dalam sejarah sepak bola, Frans Beckenbauer, itu ada benarnya. Inggris secara faktual memang seperti (tiga) singa ompong. Banyak pengamat yang tak segan mengatakan Inggris sebagai tim yang tak punya mental juara. Itu lantaran The Three Lions selalu keok dari lawannya lewat adu penalti, momentum yang membutuhkan nyali besar dan mental tebal para pemainnya. Lebih menyakitkan lagi, gurauan pers asing kadang menusuk tulang sumsum, “Inggris cuma menang berita, tidak ada apa-apa didalamnya”, lanjutnya. Jangan-jangan ada benarnya. Hanya dalam pertandingan persahabatan saja, kantor berita (baca: pers) Inggris meliputnya bagaikan partai final Euro atau bahkan Piala Dunia. Pers Inggris merasa punya hak dari rakyat untuk mengevaluasi sekaligus menghakimi pemain serta pelatih. Pemain legendaris Inggris, David Beckham di usia mudanya, pernah dijuluki sebagai singa bodoh oleh pers Inggris. Itu lantaran kartu merahnya karena terprovokasi oleh Diego Simeone (Argentina) di Piala Dunia 1998. Kejadian memalukan yang menurut wartawan Inggris menjadi biang kerok kekalahan Inggris. Padahal, pers Inggris pula yang mendesak dengan setengah memaksa kepada pelatih Glenn Hoddle untuk memasukkan Beckham ke dalam timnya. Bukan hanya itu, di awal-awal masa tugasnya di tim nasional Inggris, pelatih Sven Goran Eriksson yang saat itu berprestasi tinggi dengan membawa klub Lazio Roma meraih tiga gelar, scudetto Serie-A, juara Coppa Italia dan pemenang Super Italia, sempat terkaget-kaget dalam setiap acara jumpa pers. Wartawan di Inggris merasa sok pintar dengan mengajaknya berdiskusi (baca: berdebat) soal taktik. Hobi wartawan Inggris mengulas detil tim Inggris (termasuk kehidupan pribadi pemain-pemainnya), membuat Eriksson mengemukakan sindiran pedas. Bahwa dalam setiap penampilan, Inggris sudah menang setengah sebelum pertandingan dimulai, karena wartawan sudah mengetahui titik kelemahan calon lawannya. Sekarang masa Eriksson sudah berlalu. Namun apa yang dialaminya dalam pengalaman bersama pers Inggris yang “kejam” tetap dirasakan sampai sekarang oleh siapapun pelatihnya. Roy Hodgson, pribumi Inggris yang malang melintang dan banyak makan asam garam puluhan tahun di negeri orang dan di negerinya sendiri, tetap sama juga merasakan tekanan pers. Memasukkan atau membuang nama pemain dalam line-up, selalu dikomentari salah ini dan itu, kenapa tidak begitu atau begitu. Di Euro 2016 ini, di mana Inggris lolos dengan nilai sempurna dari babak kualifikasi, Roy Hodgson membawa lebih dari separuh kekuatan timnya adalah pemain usia muda. Termasuk Marcus Rashford yang belum genap berusia 19 tahun. The rising star dari Mancheser United hasil olahan pelatih Belanda, Luis van Gaal ini sangat direkomendasikan oleh pers Inggris untuk turut dibawa oleh Roy Hodgson ke Prancis. Namun Roy Hodgson masih lebih mempercayakan tugasnya pada pemain muda lain yang lebih berpengalaman, Raheem Sterling (Manchester City) saat melawan Rusia. Belum jelas bagaimana rencana Inggris turun ke lapangan menghadapi Wales. Sebelum Euro 2016 ini dimulai, partai Inggris versus Wales banyak menyedot perhatian. Prediksi yang beredar adalah partai seri atau draw. Namun dengan hasil seri 1-1 dengan Rusia, dan kemenangan Wales atas Slovakia, sedikit mengubah arah prediksi dari para pengamat. Inggris pasti akan lebih “bertenaga” kala menghadapi saudara rumpunnya, Wales malam ini. Tim Naga Wales sendiri lebih beruntung dengan tabungan 3 poin hasil kemenangan dari Slovakia. Jika nanti Wales bisa mencuri 1 angka dari Inggris, posisinya belum aman mengingat lawan terakhir adalah Rusia dengan kekuatan banyak “bom molotov” yang kecil namun mematikan. Kalau Wales menundukkan Inggris, maka Gareth Bale dan timnya sudah sampai lebih dulu di perempat final, sedangkan Inggris mengejar nasib di pertandingan akhir melawan tim kenyal Slovakia. Jadi, rasanya, partai serumpun ini akan berakhir dramatis dengan kemenangan. Namun untuk siapa, itu yang menarik ditunggu. Sayang hasil Rusia melawan Slovakia baru bisa diketahui setelah tulisan ini dibuat********. Itu peta persaingan di Grup B, sedangkan dinihari nanti di Grup C, Jerman yang sudah menumbangkan Ukraina 2-0 di laga awal, kembali dijagokan bakal menghentikan Polandia yang sama-sama sudah mengantongi 3 poin dari hasil kemenangan atas Irlandia Utara. Hanya tiga jam sebelumnya, Ukraina dan Irlandia Utara juga menentukan nasib mereka. Jika partai krusial ini berakhir 3 poin kemenangan, maka tim yang kalah harus siap-siap berkemas koper karena dipastikan gagal lolos dari babak penyisihan grup. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: