Itulah Italia yang Italiananananana….
Oleh : Kurniadi Pramono TAHUN 1990 saat Italia menjadi tuan rumah Piala Dunia, sepasang artis bersuara luar biasa, Gianna Nannini dan Edoardo Bennato membawakan official song berjudul Un’estate Italiana. Dalam sepenggal bait reffrain-nya, suara serak Nannini melantun “Un’estate Italiananananana….”. Lagu yang kerap enak didengar sampai sekarang itu, dalam versi latin asli berbahasa Italia yang menarasaikan betapa megahnya Piala Dunia, seolah menegaskan betapa tuan rumah Italia yang dipujanya adalah Italia yang itu-itu juga, tak pernah berubah. Menyaksikan Italia tampil menggulung tim favorit Belgia 2-0 di laga awal, banyak yang terperangah dan menganggap pelatih Antonio Conte telah keluar dari pakem main gaya Italia. Tapi coba perhatikan, tidak ada yang berubah dari Italia. Semuanya masih sama seperti itu, mengandalkan serangan balik dari garis belakang, efektif membunuh lawan. “Italia bermain dengan penuh pengorbanan dan rendah hati, digabung dengan ketahanan fisik dan gairah meluap. Itulah gaya khas Italia (yang tak pernah berubah),“ kata Leonardo Bonucci, satu dari trio tembok kokoh Italia bersama Giorgio Chiellini dan Andrea Barzagli. Gol pertama menit ke-34 sangat spektakuler. Umpan jarak jauh yang sangat akurat, dilepaskan Bonucci langsung ke kotak vital Belgia. Bola melayang melewati kepala 10 pemain Belgia yang menengadah ke langit. Begitu bola mematuhi hukum alam gravitasi dan jatuh di kaki Emanuelle Giaccherini, dengan dua kali sentuhan “lembut” saja, dia membuat salah satu penjaga gawang terbaik di Eropa, Thibaut Courtois, terlihat seperti baru belajar menangkap bola. Gol kedua di penghujung laga tak kalah dahsyatnya. Pemain belakang Antonio Candreva sudah berdiri bebas di dalam kotak penalti, memaksa Courtois keluar hendak memotong ruang gerak. Namun Candreva lebih cerdik, dengan bola matang di kaki kanannya, Candreva siap menghujamkan bola ke gawang, tapi malah memberikan umpan lob parabola ke striker Graziano Pelle. Umpan Candreva melewati empat pemain bertahan Belgia yang kebingungan. Dan dengan sepakan a-volley kura-kura yang keras tanpa basa-basi, Pelle tak memberi ampun. Dua gol taktis yang sangat cattenaccio, bersabar membidik dan kemudian tiba-tiba menembak, merontokkan mental lawan. Puja dan puji pun berhamburan, kemenangan 2-0 atas Belgia langsung membuat Gli Azzurri berada di posisi favorit juara. Tapi coba sekali simak. Italia memang bermental mesin diesel, tak pernah terlihat grasak-grusuk, tapi bertindak tepat di tempat dan waktu yang seharusnya. Mantan pemain dan pelatih sekelas Franz Beckenbauer, yang kadang terdengar jemawa pun, menghadapi nama Italia, tetap masih harus mengulang dan mengulang lagi peringatannya. “Di setiap turnemen, Italia harus tetap diperhitungkan!,“ katanya. Maklum, punggawa sepuh Jerman (Barat) ini sangat risau dengan rekor head to head versus Italia selama tujuh kali pertemuan resmi di Euro dan Piala Dunia selama 54 tahun, Jerman kalah tiga kali dan sisanya seri. Menghadapi Swedia malam ini, tentu Italia seperti kata Bonucci, tetap rendah hati. Swedia sendiri yang pada pertandingan pertama hanya bisa meraih poin tunggal hasil draw dengan Irlandia, tentulah sudah melihat bagaimana Italia tampil dan siapa itu calon lawannya itu. Benar Ibrahimovic pernah main di Internazionale Milan, dan tentu saja kenal bagaimana sepak bola dimainkan di Serie-A. Tapi itu sama sekali tidak menjamin pemain jangkung ini bisa lolos pengawalan jejaring 5 pemain belakang Italia. Kalau saja Italia tetap bermain sesabar dan seefektif sebelumnya, maka satu gol saja ke gawang Swedia, sudah cukup mengantarkan mereka ke 16 besar. Yang berarti on track bersama para tim favorit lainnya. Artinya, mesin diesel Italia semakin hangat menuju top performance. Dua lagi pertandingan yang mendebarkan untuk ditunggu kickoff-nya. Ceko melawan Kroasia dan Spanyol berhadapan dengan Turki, di Grup E. Turki sama sekali belum memeroleh angka karena kalah 0-1 dari Kroasia di partai terdepan. Namun dalam pertandingan itu, pelatih Fatih Terim, tetap merasa bangga karena kekalahan timnya diperoleh dari tim yang menurutnya sangat pantas dijuluki kuda hitam yang sesungguhnya, Kroasia. Fatih Terim sendiri termasuk berani jika berhitung dalam soal boyongan 23 pemain yang dibawa ke Prancis. Hanya tiga pemain yang berasal dari klub di luar negeri, yakni Hakan Calhanoglu (Bayer Leverkusen), Nuri Sahin (Borussia Dortmund), Arda Turan (Barcelona). Selebihnya, tak kurang dari 85 persennya, dicomot Terim dari area domestik. Tapi coba lihat bagaimana penampilan mereka terhadap Kroasia. Taktik dan gaya kolektifnya yang mengutamakan kekuatan naik dan turun lima hingga enam pemain gelandang, setidaknya mampu membuat Kroasia (dan tim namapun) tidak bisa menang dengan mudah. Pun coba tengok kiprah mereka di babak kualifikasi. Mereka menyingkirkan salah satu raksasa Eropa, Belanda, terlepas dari fakta bahwa raksasa tersebut memang tengah sakit dan limbung. Grup E ini juga dikategorikan sebagai grup terpanas, mengingat juara bertahan Spanyol tergabung dengan dua tim modern yang luar biasa dari belahan timur Eropa, yakni Kroasia dan Ceko. Di tambah satu lagi, si klasik Turki yang kerap tampil keras dan cepat, tentulah membuat grup ini bakal meletup-letup bagaikan popcorn. Kemenangan Spanyol sendiri 1-0 atas Ceko, masih dianggap belum garansi bahwa juara bertahan itu bakal lolos. Kroatia dan Turki selalu jagoan membuat kejutan panjang seperti di Piala Dunia 1998 dan Piala Dunia 2002. Keduanya sampai ke babak semifinal dan memberikan kenangan manis pada publik sepak bola dunia hingga saat ini. Hitungan andai-andai. Apabila Spanyol ditahan Turki dan manakala Kroasia kalah dari Ceko. Maka, dua partai penutup di Grup E ini, Ceko versus Turki dan Kroasia lawan Spanyol, yang akan dipertandingan dalam waktu bersamaan, bakal menjadi luar biasa menariknya untuk dinantikan, bagaimana akhir dramatiknya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: