Pembuat Pesawat yang Pernah Benci Pesawat

Pembuat Pesawat yang Pernah Benci Pesawat

NAMA Presiden Ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibie tidak bisa dipisahkan dari pesawat. Habibie memang sudah lama mengenal benda yang namanya pesawat. Saat kecil, dia sering sekali melihat pesawat wara-wiri. Bukannya senang, dia malah membenci “burung besi” itu. Kenangannya akan pesawat begitu buruk. Dalam benaknya, pesawat itu jahat. Pesawat yang dilihat Habibie kecil adalah pesawat perang yang tak henti-hentinya membombardir wilayah Nusantara. Ya, saat Habibie kecil, Indonesia masih jauh dari kata merdeka. Belanda dan Jepang masih saling berebut kekuasaan untuk menduduki Indonesia. Pesawat-pesawat yang berseliweran di langit ibu pertiwi kala itu adalah pesawat perang seperti yang dilihat Habibie. Tidak sedikit pun rasa kagum terlintas dalam pikiran Habibie saat melihat benda jahat tersebut. Perbincangan singkatnya dengan sang papi, Alwi Abdul Jalil Habibie, sedikit banyak mengubah pemikirannya akan pesawat. Kala itu Habibie baru saja disunat. Berdiri di bubungan kapal laut yang mengantarnya pulang dari Gorontalo ke Parepare. Bocah 9 tahun itu berpegangan pada tangan papinya. Dia bertanya mengapa mereka sekeluarga tidak tinggal di Gorontalo saja. Tempat keluarga besar Habibie. Jika tinggal di Gorontalo, mereka tak perlu menghabiskan waktu selama tiga hari di kapal laut untuk bisa bertemu saudara-saudara. Bukan jawaban yang diharapkan Habibie yang terlontar dari mulut papinya. Melainkan pernyataan yang diikuti pertanyaan untuk memancing imajinasi Habibie kecil. “Kita kan bisa bolak-balik Parepare–Gorontalo! Caranya,” pancing papi seperti yang diceritakan Habibie dalam buku Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner. ”Naik kapal,” jawab Habibie polos. Bagi dia, naik kapal laut memang cara yang paling masuk akal untuk pergi ke Gorontalo. ”Bagaimana dengan sekolahmu? Pekerjaan papi,” kata papi kembali melontarkan pertanyaan. Habibie pun kemudian mempertanyakan kerinduan papi kepada keluarganya yang sudah lama tidak dia temui. Papi menjawabnya dengan sangat bijak. ”Bukan cuma papi yang rindu. Mamimu juga lebih rindu lagi dengan keluarganya di Jawa,” ujar papi. Ketimbang Gorontalo, jarak Jawa lebih jauh lagi. Untuk sampai Gorontalo saja, mereka harus berlayar tiga hari. Apalagi ke Jawa. Belum lagi perjalanan darat untuk sampai ke kampung halaman mami di Jogjakarta. Dalam benak Habibie kecil, berkecamuk pertanyaan berapa lama waktu yang dibutuhkan mami untuk bisa melepas rindunya dengan keluarga yang sudah lama dia tinggalkan. Bukan Habibie namanya jika tidak penasaran. Dia terus-menerus mendesak papinya untuk memberitahunya seberapa jauh kampung halaman mami. Lagi-lagi Papi menjawab dengan clue-clue yang diharapkan bisa ditangkap anak keempatnya itu. “Berpikirlah lebih luas, Rud,” kata papi sambil mendongakkan kepala menatap langit. Siluet burung terbang terlihat makin mendekat dan melewati kapal yang mereka tumpangi. Dengan sigap, Habibie menangkap maksud papinya itu. Papi berpikir untuk terbang saja ke kampung halaman mami. Jarak tempuhnya akan jauh lebih singkat ketimbang harus berlayar dan melanjutkan perjalanan lewat darat. Sejak itu, pikiran Habibie terus dilintasi burung-burung yang terbang dengan mudah. Saat tinggal bersama kawan papinya, Syamsudin, di Jalan Purnawarman 52, Bandung, kegemaran Habibie bermain model pesawat muncul. Bukan hanya bermain, dia juga mulai gemar membuat model pesawat sendiri dari kayu balsa.  Ketertarikan Habibie pada pesawat makin menjadi saat dia menimba ilmu di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang ITB). Tepatnya saat dia mendapat cerita dari Liem Keng Kie. Kala itu Keng Kie baru saja mengambil visa di Kedutaan Besar Jerman. Dia kemudian menceritakan rencananya melanjutkan studi di Jerman. ”Saya akan sekolah teknik penerbangan di Jerman,” tutur Keng Kie. Keng Kie juga bercerita bahwa sebagai mahasiswa beasiswa, dirinya akan kembali ke Indonesia dan membangun industri penerbangan. Semangat Rudy untuk mengikuti jejak rekannya itu makin menggebu. Dia mulai mengeset cita-citanya sebagai insinyur penerbangan. Keinginan kuatnya itu dia buktikan sesampai di Jerman. Habibie tidak butuh waktu lama untuk bisa menerbangkan pesawat pertamanya. Tiba di Jerman pada April 1955, pada Mei 1955, dia sudah bisa menerbangkan pesawat buatannya sendiri. Bukan pesawat besar memang. Melainkan pesawat dengan ukuran yang jauh lebih kecil. Dengan hati-hati, dia menghitung panjang, lebar, dan ketebalan yang pas agar pesawat itu bisa terbang. Kayu balsa yang biasa digunakan Habibie dikombinasikan dengan mur dan motor kecil agar bisa terbang. Sebuah pabrik pembuatan mesin bernama Klöckner Humboldt Deutz di Köln-Kalk yang jadi tempat praktik Habibie juga jadi tempat Habibie melahirkan pesawat pertamanya. Sepulang bekerja praktik, Habibie menerbangkan pesawat tersebut. Tidak disangka, pesawat itu benar-benar terbang. Pesawat tersebut terbang berputar-putar di ketinggian 2 meter. Orang-orang Jerman yang menyaksikan peristiwa itu bertepuk tangan. Itu menjadi hari yang terus diingat Habibie. Momen tersebut menjadi salah satu yang paling penting dalam karir Habibie kelak. Sebagai pembuat pesawat. Seperti saat dia melahirkan N-250 Gatotkaca pada 1995. Dan kini sedang menyiapkan R-80. (and/c10/ang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: