Prematur Big Match, Italiananananana

Prematur Big Match, Italiananananana

Oleh : Kurniadi Pramono STADION Olympic Kiev, Ukraina, Minggu 1 Juli, saat laga final Euro 2012 tinggal menyisakan beberapa menit terakhir. Raut wajah Vicente Del Bosque datar saja, persis seperti tabiatnya yang tenang. Namun, tatapan Cesare Prandelli hampa ke tengah lapangan, berbeda dengan sifatnya yang periang. Spanyol untuk sementara unggul 4-0 atas Italia. Penjaga gawang Iker Casillas setengah berteriak memohon kepada wasit Pedro Proenca asal Portugal, agar pertandingan segera diakhiri saja. Casillas tetap respek pada nama besar Italia. Dia tak ingin gawang lawannya kebobolan lagi, sehingga lebih mempermalukan juara dunia empat kali itu. Bagi sebagaian orang, sikap Casillas bisa jadi dianggap sebagai penghinaan kepada lawannya.  Namun tidak bagi Gianluigi Buffon. Kedua kiper terbaik di dunia pada masanya itu, saling berpelukan, seolah tanpa ada ganjalan bahwa sebenarnya saat itu yang satu berstatus pemenang, dan yang lain adalah pecundang. Hanya kurang tiga hari dari hitungan empat tahun kemudian, sejak peristiwa fairplay tingkat tinggi itu, Spanyol dan Italia kembali berjumpa. Ini kali pun di ajang bertajuk sama, Euro, turnamen sepak bola antarnegara paling besar di Benua Biru. Tapi sayangnya, rivalitas Spanyol dan Italia nanti malam “sudah” terjadi di 16 besar. Padahal harapan publik, keduanya baru “diperbolehkan” bertemu setidaknya di semifinal. Apa boleh buat, premature big match terlaksana di awalan fase gugur. Banyak pihak yakin, pertandingan ini malam, bakal menjadi partai klasik yang memorial. Italia dan Spanyol, finalis Euro empat tahun lalu, masih tetap sama difavoritkan. Baik Italia di Grup E dan Spanyol di Grup D, keduanya telah memastikan diri lolos ke perdelapan final lewat dua kemenangan sempurna di dua laga awal mereka. Spanyol mengalahkan Republik Ceko 1-0 dan menundukkan Turki 2-0. Sementara Italia mengungguli Belgia 2-0 dan menang atas Swedia 1-0. Di pertandingan ketiga, Vicente Del Bosque memilih filosofi “menempa besi selagi panas” pada laga melawan Kroasia. Dia tetap menurunkan timnya utuh tanpa ada kekhawatiran apapun menjelang 16 besar. Soal pilihan strategi seperti itu, memang Vicente Del Bosque adalah matador sejati yang tak pernah peduli banteng sebesar apa yang dia hadapi, namun lebih fokus kepada pedang setajam apa yang harus ada di genggamannya. Spanyol kalah terhormat 1-2 dari Kroasia. Tapi tak ada sedikitpun penyesalan atau kedongkolan di kubu Spanyol. Sergio Ramos yang gagal mencetak gol dari eksekusi penalti pun, tak kemudian dijadikan kambing hitam. Suatu saat, pelatih pelit senyuman ini pernah mengatakan bahwa dirinya tak lebih daripada seonggok kotoran, apabila tak mampu memberikan gelar juara dengan kualitas tim sehebat apa yang telah dia miliki. Dia merasa telah memiliki semua yang dibutuhkan sebagai prasyarat juara. Dan dia membuktikannya di Piala Dunia Afrika Selatan 2010 serta Euro Polandia-Ukraina 2012. Berangkat ke Perancis tahun ini, Vicente Del Bosque membawa tim dengan misi juara bertahan yang akan meraih treble champions, kontinuitas 2008 dan 2012. Dia tetaplah figur yang sama. Guratan senyumnya masih juga mahal, tumpukan bulu kumisnya pun tetap gondrong. Yang beda adalah nama materi pemain-pemainnya, sedangkan kualitas teknis dan kondisi psikoligisnya dinilai banyak pihak, tetaplah Spanyol yang sama, Espana yang sangat berbahaya, matador yang sangat lihai. Berbeda dengan Vicente Del Bosque, Antonio Conte punya pembawaan yang meledak-ledak, dan menampikan kesan “sedikit” otoriter. Dia lebih memilih cara “berperang” ala Panglima Julius Cesar. Kesuksesan besar bisa diraih dengan kemenangan yang cerdik, Antonio Conte lebih percaya pada kesegeran dan kebugaran prajuritnya daripada membabi buta, show force unjuk kekuatan untuk medan laga “kecil” yang tak penting. Sebab apapun hasil yang didapat dari laga melawan Irlandia, tak memengaruhi posisi Italia sebagai juara Grup E. Itulah sebabnya seperti yang sudah ditebak, Italia turun dengan kekuatan 75 persen muka baru. Terus terang, strategi kuno menyembunyikan kekuatan seperti ini masih tetap ampuh untuk mengecoh perhatian calon lawan. “Ini bagian dari apa yang dinamakan sebagai psywar (perang urat syaraf),” ujar Conte. Kini, dengan situasi refresh di tim intinya, Antonio Conte akan lebih leluasa menentukan skema taktikal yang akan dimainkan Gli Azzurri malam ini. Italia nampaknya akan memainkan five-defender, tiga back sejajar (Giorgio Chiellini, Leonardo Bonucci dan Andrea Barzagli) yang diperkuat dua wing back spesial (Bernadeschi dan Florenzi). Ini berarti cuma ada tiga gelandang bebas (Giaccherini, De Rossi dan Florenzi) dan dua “gelandang” menyerang Pelle dan Martins. Atau bisa jadi juga Italia “sedikit” mengigit dengan tiga center-back dan enam gelandang, dan satu target-man di depan. Apapun itu, Italia adalah tim yang tipikal bertahan yang punya naluri kecepatan luar biasa dalam serangan balik. Kithah cattenaccio yang tak pernah usang. Namun Vicente Del Bosque sendiri mengamati bahwa tim calon lawannya, Italia tak lagi seperti dulu. “Mereka bukan seperti yang dulu lagi,” ujar Bosque. “Sekarang lebih variatif dan cepat dalam menyerang,” tambahnya. Apapun ungkapan yang keluar, fakta head to head di antara kedua tim hebat ini, Italia belum pernah memenangi laga terhadap Spanyol sejak final Euro 2012 lalu. Dalam dua laga persahabatan dan official match di Piala Konfederasi, Italia belum berhasil membalaskan kekalahan di kota Kiev empat tahun lalu. Jadi malam ini adalah kesempatan Gialuigi Buffon membuktikan bahwa ia dan timnya memang pantas mendapat respek dari Spanyol, kendati Iker Casillas tidak lagi di posisi kiper utama. Memang sejak empat tahun yang lalu, telah banyak peristiwa yang mengubah banyak hal di dunia sepak bola. Sungguh waktu yang sangat cepat untuk sebuah dinamika sepak bola. Sekaligus juga waktu yang cukup lama jika dipandang sebagai penantian pada kualitas pertandingan sepak bola. Di tengah hegemoni klub-klub La Liga Spanyol dan keterpurukan para wakil Serie-A di Champions League, sungguh pertemuan Italia dan Spanyol nanti malam akan memberi warna tersendiri pada atmosfer rivalitas sepak bola di Eropa dan dunia. Ini akan mempertajam paradigma kita tentang perbedaan dan kekayaan gaya permainan sepak bola yang unik. Bagaimana seharusnya bertahan dan seperti apa layaknya menyerang. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: