Cessna Masuk Daerah Terlarang
Dua Korban Selamat Calon Pilot Pesawat Komersial KUNINGAN- Penyebab jatuhnya pesawat latih jenis Cessna 172 PK HAL milik sekolah penerbangan Aero Flyer Institute (AFI) Jakarta di Dusun Patapan, Desa Sukadana, Kecamatan Ciawigebang, Kabupaten Kuningan, masih menyimpan misteri. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang melakukan penyelidikan terhadap bangkai pesawat di lokasi kejadian, kemarin, belum bisa menyimpulkan penyebab jatuhnya pesawat. Menurut KNKT, butuh waktu lama, bahkan bisa sampai setahun untuk mengetahui penyebab jatuhnya pesawat. Namun ada keterangan yang dilontarkan Arif Prawido, Inspektur dari Kementerian Perhubungan. Pria yang kenyang pengalaman terbang itu merasa heran dengan keputusan pilot Cessna melintasi wilayah Patapan. Sebab wilayah ini belum termasuk zona terbang atau wilayah yang direkomendasikan untuk dilintasi penerbang. Ada beberapa titik di wilayah Cirebon dan sekitarnya yang dibolehkan untuk dilalui pesawat. Dan itu tidak termasuk kawasan udara Patapatan. “Setahu saya, wilayah ini (Patapan, red) tidak termasuk wilayah yang direkomendasikan untuk dilintasi pesawat. Maksudnya ada beberapa titik di kawasan Cirebon yang dibolehkan untuk dilintasi pesawat, termasuk pesawat komersial. Untuk Kota Cirebon sendiri, pesawat komersial melintasi wilayah kota. Nah untuk Patapan itu tidak termasuk yang direkomendasikan untuk dilintasi. Bukan berarti wilayah perbukitan tidak boleh dilalui pesawat, tapi ada daerah yang tidak direkomendasikan,” papar Arif kepada Radar, kemarin (3/7). Dia juga mengatakan, jika tekanan udara atau angin di atas wilayah Cirebon sangat kencang dan berbeda dengan daerah lainnya yang relatif lebih tenang. “Tekanan udara di atas wilayah Cirebon sangat kencang. Pesawat besar saja bisa goyang, apalagi yang kecil terkena angin atau udara saat berada di atas wilayah Cirebon. Jadi, saat menerbangkan pesawat di atas wilayah Cirebon, pilot harus hati-hati karena tekanan udaranya begitu kuat,” ujarnya. Arif menambahkan, pesawat Cessna yang jatuh itu buatan tahun 1985. Harganya sekitar Rp800 juta dan milik AFI yang berada di bawah Batavia Air. Pesawat ini menggunakan bahan bakar sejenis Pertamax. “Pesawat ini buatan tahun 1985 dengan register penerbangan PK HAL. Identitas PK di ekor itu untuk semua pesawat di Indonesia termasuk Cessna. Begitu juga pesawat komersial di Indonesia pasti ada register PK. Untuk pesawat di luar negeri beda lagi registernya,” sebut Arif. Menyangkut dua korban yang selamat, Arif masih ingat keduanya sempat diwawancarai salah satu televisi swasta nasional saat pesawat Sukhoi menabrak Gunung Salak. Sebelumnya, kedua wanita itu, Rara Paramitha dan Nur Fitriani Fatimah adalah awak kru kabin. Keduanya ikut sekolah penerbangan yang nantinya bisa menjadi pilot pesawat komersial. “Rara dan Nur sebelumnya kru kabin dan diproyeksikan untuk menjadi pilot. Mereka berlatih dengan Cessna. Setelah lulus dari sekolah penerbangan, Rara dan Nur bisa membawa pesawat berbadan lebar. Jam terbang di Cessna tetap dihitung,” papar dia. Berbeda dengan pesawat Twin Otter yang mesinnya tak pernah mati dan bisa mendarat di landasan yang cukup pendek, Cessna hanya memiliki satu mesin. Jika mesin itu mendadak mati, maka pilot harus bisa mendaratkan di lokasi darurat, namun membutuhkan landasan yang panjang. “Di Papua pesawat yang digunakan jenis Twin Otter karena memiliki kemampuan yang sangat handal. Selain mesinnya bandel juga bisa mendarat di landasan pendek. Cessna ini hanya memiliki satu mesin, dan butuh landasan yang cukup panjang. Itu perbandingannya,” terang dia. Lelaki yang mengaku memiliki pengalaman menerbangkan pesawat Cessna dalam kondisi mesin mati itu menjelaskan, calon pilot Cessna itu nantinya akan menerbangkan pesawat berbadan lebar seperti Boeing, Airbus atau pesawat lainnya. Begitu lulus dari sekolah penerbangan, mereka (pilot, red) langsung bisa membawa pesawat berbadan lebar. “Ini kawah candradimukanya bagi pilot, sebelum menerbangkan pesawat besar. Mereka biasanya berlatih menggunakan pesawat Cessna seperti yang jatuh di Patapan ini,” tutur Arif yang mengenakan seragam dengan badge Kementerian Perhubungan di tangannya. Arif kemudian menuturkan pengalamannya menerbangkan pesawat Cessna. Saat itu dia uji terbang di atas langit Cirebon. Tak berapa lama mesin pesawat mati. Arif berusaha tenang dan mencari landasan terdekat, yakni bandara Penggung. Dengan kondisi mesin mati, Arif selamat mendaratkan pesawat di bandara tersebut. Bahkan dia merekam pendaratan darurat tanpa mesin di bandara itu. “Rekamannya ada, tapi tidak diunggah ke Youtube. Semua pilot harus tenang saat mesin pesawat mati. Paling tidak mencari tempat mendarat darurat. Dan saya pernah mengalaminya,” terang Arif. Sementara Sulaeman Dayan Asmana dari KNKT bersyukur, pesawat tidak meledak setelah jatuh. Sebab baterai di pesawat belum dimatikan dan berpotensi untuk meledak. “Saat warga berkumpul di sekitar pesawat, potensi meledak sebenarnya ada. Baterai di pesawat masih hidup, dan itu sangat membahayakan. Saya tidak membayangkan kejadian seperti apa jika pesawat itu meledak, sementara warga banyak di sekitar lokasi pesawat. Makanya saya minta dipasang police line dengan lokasi agak jauh untuk mengantisipasi pesawat itu meledak. Apalagi banyak warga yang merokok tak jauh dari badan pesawat,” ungkap Sulaeman. (ags)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: