Soal Dana Mengendap, Pemkab Bogor Tantang Kemenkeu
BOGOR – Pemkab Bogor benar-benar kebakaran jenggot. Pemerintahan dibawah kepemimpinan Nurhayanti itu tegas membantah sejumlah tudingan miring yang dilancarkan Kementerian Keuangan, terkait tingginya pengendapan APBD. Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Barang Daerah (DPKBD) Kabupaten Bogor, Rustandi menegaskan tidak ada dana yang menganggur di bank daerah. Justru belakangan ini, bupati terus menggenjot para kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk segera merealisasi program belanjanya. “Tidak benar itu,” tegas Rustandi, kemarin. Sebelumnya, kemenkeu menempatkan Kabupaten Bogor menjadi daerah pengendap anggaran tertinggi se-Indonesia, yaitu Rp2,1 triliun. Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Kementerian Keuangan, total dana yang mengendap di perbankan daerah mencapai Rp246,2 triliun pada akhir Mei. Jumlah itu lebih tinggi Rp7,4 triliun jika dibandingkan dengan akhir April yang mencapai Rp238,8 triliun. Jika dikategorisasikan sesuai tingkatan pemerintahan, pemerintah provinsi masih menjadi pemilik dana menganggur terbanyak dengan Rp56,9 triliun. Lebih dari separuhnya dana tersebut atau sekitar Rp29,2 triliun, kini tersimpan di deposito. Sementara itu, untuk level kabupaten/kota, total simpanan mencapai Rp189,3 triliun. Lebih dari 73 persen tersimpan di rekening giro. Provinsi DKI Jakarta menjadi pemilik dana menganggur terbesar, yaitu Rp12,5 triliun. Medan menjadi kota dengan dana menganggur terbesar, dengan simpanan Rp2,6 triliun. Untuk level kabupaten/kota, nama Bogor bertengger di rangking 1 sebagai kabupaten dengan dana menganggur terbesar yakni Rp2,1 triliun. Ditanya soal hal ini, Rustandi kembali menjelaskan, jajarannya tidak mungkin dengan sengaja menumpukan dana idle. Kalaupun ada, itu merupakan dana dari sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) tahun sebelumnya. “Itu tetap uang juga, hanya bedanya jika sebelumnya berupa dana cash, sedangkan SPN itu surat berharga negara,” jelasnya. Menurutnya, tak ada yang mengharamkan pemda untuk menghasilkan silpa. Sebab silpa tidak melulu muncul dari kegagalan SKPD dalam membelanjakan programnya. Keberhasilan pemkab melakukan efesiensi dalam proses lelang dan torehan surplus di pendapatan asli daerah, justru belakangan ini penyumbang tingginya angka silpa. “Asal tahu saja, silpa yang ada mampu menutup defisit anggaran (APBD, red). Sebab itu (silpa) bukan sesuatu yang haram. Jika ada yang mau mengusut mari diskusi dengan saya! Dia ngerti nggak aturan, kita buka aturannya,” tuturnya. Nantinya dana silpa yang ada, lanjut Rustandi, akan terserap jika ada pengajuan penagihan. Bedanya, pengajuannya itu ditagihkan dengan rentan waktu satu minggu. Tujuannya, tentu untuk mendorong percepatan pengelolaan keuangan agar semua aspek kegiatan bisa langsung menyentuh pada kebutuhan masyarakat. “Bukan pengendapan. Memang semua yang ada di bank mengendap tetapi itu dana cadangan yang dipersiapankan untuk mengeksekusi berbagai kegiatan. Yang Rp2,1 triliun, itu saldo anggaran yang ada di APBD sekitar itu, untuk membiayai program SKPD,” tuturnya. Terpisah, Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Ade Ruhendi menuturkan, jajarannya akan segera membawa persoalan pengendapan anggaran ini untuk dibahas di meja rapat. Pembahasan ini menurutnya sangatlah penting untuk menemukan SKPD mana yang gagal merealisasi program pembangunannya. “Kita akan petakan dinas yang mana yang penyumbang terbesar, sehingga dampaknya apa dan dinas pernah mencari solusi seperti apa,” ujarnya kepada Radar Bogor kemarin. (ded/c)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: