Dapat Gedung Bekas pun Sulit
Menkeu Prioritaskan Kementerian daripada KPK JAKARTA - Harapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendapatkan gedung bekas atau gedung tak terpakai ternyata sulit terwujud. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai bendahara negara menyatakan, belum ada prioritas bagi KPK untuk mendapatkan gedung bekas sebagaimana saran dari Komisi III DPR. Menkeu Agus Martowardojo mengatakan tidak bisa memastikan apakah tersedia gedung bekas untuk digunakan KPK. “Saya belum bisa mengatakan itu. Yang punya posisi menjawab itu adalah Direktorat Jenderal (Ditjen) Kekayaan Negara. Tetapi, tidak besar harapannya,” ujarnya kepada wartawan di gedung DPR kemarin. Agus menyatakan, dalam daftar yang dimiliki Ditjen Kekayaan Negara, memang ada gedung-gedung bekas tak terpakai. Namun, sudah banyak lembaga negara, termasuk kementerian, yang juga meminta tambahan gedung. “Cukup banyak yang berminat, tetapi belum bisa dipenuhi,” ujarnya. Dalam hal ini, Kemenkeu akan memprioritaskan kementerian terlebih dahulu untuk mendapatkan tambahan gedung. “Tentu kementerian harus mendapat prioritas,” ujar Agus. Sementara itu, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja meminta pihak-pihak yang berwenang mengucurkan anggaran untuk pembangunan gedung KPK agar berkunjung ke markas komisi antirasuah tersebut di Jalan Rasuna Said, Jakarta. “Biar mereka lihat sendiri bagaimana kondisi kantor kita,” kata Adnan. Menurut dia, percuma saja jika mereka hanya berkoar-koar menyatakan gedung KPK masih bagus tetapi tidak pernah melihat langsung kondisi yang sebenarnya. Pimpinan KPK menjelaskan bahwa gedung yang mereka tempati sebenarnya sudah tidak layak. Selain sudah berumur tua, gedung tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan dengan jumlah pegawai dan tumpukan berkas-berkas perkara yang ada di sana. Adnan mengatakan, KPK sudah mengundang secara lisan agar Komisi III DPR mengunjungi kantornya saat menggelar rapat dengar pendapat dua pekan silam. Tapi. sampai sekarang belum ada tindak lanjut atas permintaan tersebut. “Sebenarnya ajakan kami secara lisan saat rapat dengar pendapat adalah undangan resmi karena itu dicatat notulensi dan semuanya mendengar. Kalau dikirim surat, hanya orang tertentu yang tahu,” kata mantan komisioner Kompolnas itu. (bay/kuh/c10/ca)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: