Tradisi yang Mulai Punah; Tinggal Dua Rumah yang Masih Atap Daun Tebu

Tradisi yang Mulai Punah; Tinggal Dua Rumah yang Masih Atap Daun Tebu

Tradisi warga Kampung Keputihan Desa Kertasari Kecamatan Weru dalam mempertahankan rumah dengan atap daun tebu perlahan mulai luntur. Apa dan bagaimana kondisinya? Laporan: JAMAL SUTEJA, WERU Menuju kampung ini memang tidak ada penandanya. Yang jelas kampung ini jaraknya cukup jauh dari pusat Pemerintahan Kecamatan Weru. Tidak bisa dijangkau dengan angkutan umum, karena memang masih sangat terbatas. Di Kampung Keputihan masih dapat ditemui dua rumah yang menggunakan atap daun tebu, dari 15 rumah yang berada di kampung tersebut. Kampung yang berada dalam satu RT ini, hanya dihuni oleh sekitar 40 Kepala Keluarga. \"Kalau sekarang sudah mulai berubah, rumah ada yang sudah pakai genting dan juga asbes, karena susah mencari daun tebunya,\" ungkap Asmuni (35), salah seorang warga Kampung Keputihan kepada Radar, kemarin. Dijelaskan dia, rumah yang berada di Kampung Keputihan sendiri memang mayoritas hanya berdindingkan bilik, berlantaikan tanah. Ada pula yang sudah berlantai plur semen. Dahulu rumah-rumah di sini masih alami, hampir seluruhnya beratapkan daun tebu. Perubahan itu, disebut mulai terjadi pada sekitar tahun 2010. Kampung Keputihan termasuk yang baru merasakan aliran listrik sekitar lima bulan lalu. Sehingga tak heran, saat ini kehidupan juga lebih berubah. \"Sebelum ada listrik kami pakai damar (lampu minyak tanah, red),\" ucapnya. Sekarang, di beberapa rumah sudah memiliki peralatan elektonik seperti televisi dan juga kulkas. Menurutnya, sejak dulu, Kampung Keputihan jarang kedatangan warga baru. Hanya ada beberapa saja, selebihnya merupakan warga asli keturunan Kampung Keputihan. Saat ini dengan kemajuan zaman serta sudah mulai meninggalnya para sesepuh, tradisi perlahan berubah. Sebagian masyarakat sudah tidak mengetahui lagi sejarah dan asal usul Kampung Keputihan. \"Sekarang kan sudah ada SMP, jadi masyarakat juga sering lewat ke kampung sini, makin ramai, kalau dulu kan masih sepi,\" sebut pria yang sehari-hari berjualan bubur ayam ini. Begitu juga yang dialami oleh Juhuriah (45). Sejak ia kecil hingga kini rumah di Kampung Keputihan sudah memakai daun tebu. Bukan tanpa alasan para warga memakai daun tebu. Karena memang saat itu kondisi ekonomi juga masih belum mampu. Selain itu, ada pula yang alasan lain. Dengan memakai atap daun tebu, kondisi rumah menjadi lebih segar. Hanya saja memang atap daun tebu tidak aman kalau hujan. Terlebih atap itu hanya paling bisa tahan sekitar dua atau tiga tahun. \"Kalau hujan bocor, tapi kalau masih baru masih bagus masih kuat,\" ucapnya. Rumah atap daun tebu itu, kini memang sudah tercampur dengan penggunaan asbes. Namun, hampir setiap rumah masih menggunakan bilik sebagai dinding. Menurut beberapa keterangan, Kampung Keputihan sendiri menjadi salah satu tempat persinggahan tentara zaman dulu saat menyerang ke Batavia. Di sana juga terdapat satu sumur yang diperkirakan sudah berumur tua. \"Pernah ada yang ke sini, awalnya tidak ada yang tahu ada sumur. Tahun 1995 itu sempat geger ditemukan oleh orang keraton,\" ujarnya. Meski saat ini sudah mulai luntur, kehidupan masyarakat keputihan yang masih sangat sederhana. Mereka mayoritas banyak yang menjadi buruh dan juga petani ataupun pedagang. Namun suasana di Kampung Keputihan tetap sama sebuah perkampungan yang dikelilingi oleh kebun bambu dan juga pepohonan rindang yang membuat kampung tersebut terlihat lebih natural. (*)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: