Din Syamsuddin Wujudkan Impian Dirikan Pondok Pesantren di Kampung Halaman

Din Syamsuddin Wujudkan Impian Dirikan Pondok Pesantren di Kampung Halaman

Cita-cita lama Prof Dr Din Syamsuddin untuk mendirikan pondok pesantren modern di kampung halaman akhirnya terwujud. Sebuah kompleks lembaga pendidikan agama setingkat SMP itu kini mewarnai suasana desa di pelosok Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Orang-orang hebat ikut membidani pesantren di atas bukit tersebut. Laporan: KHAFIDLUL ULUM, Sumbawa SETELAH sekitar 1,5 jam melintasi perbukitan dan hutan lebat Sumbawa, rombongan Din Syamsuddin yang mengendarai dua minibus akhirnya tiba di kompleks Pesantren Modern Internasional (PMI) Dea Malela, Dusun Pamangong, Desa Lenangguar, Kecamatan Lenangguar, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat lalu (29/7). Dalam rombongan itu terdapat dua rekan Din. Yaitu, pengusaha tambang Amin Anwar dan Imam Budiono Sahal, putra salah seorang pendiri Pondok Pesantren Gontor KH Ahmad Sahal. Imam merupakan teman satu angkatan Din saat mondok di pesantren yang berada di Kabupaten Ponorogo itu. Jawa Pos (Radar Cirebon Group) juga ikut dalam rombongan tersebut. Begitu turun dari mobil, mantan ketua umum PP Muhammadiyah itu langsung mengajak tamunya untuk melihat-lihat kompleks pesantren. “Kita ke lokasi yang akan dibangun masjid. Lokasinya di atas,” ucap Din sembari menunjukkan lahan di atas bukit yang sudah diratakan. Mereka lantas menaiki bukit lewat tangga yang dibuat dari tatanan paving. Undakan tersebut dibuat menjelang kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) ke pesantren tersebut pada 20 Juli lalu. Sesampai di atas bukit, Din menunjukkan lahan berlubang yang dikelilingi papan kayu. “Di sini akan kami dirikan masjid yang cukup besar,” terangnya. Lalu, di samping gedung masjid akan dibangun wisma Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Dea Malela (YPKDM). Sementara itu, di sisi selatan lokasi masjid akan dibangun Bait Kalla yang digunakan untuk asrama para ustad. “Gedung itu bantuan dari Pak Wapres Jusuf Kalla,” terang guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut. Din juga menunjukkan gedung yang sedang dibangun di bawah bukit. Rencananya, bangunan tersebut berlantai tiga. Para pekerja tampak mengebut pembangunannya. Menurut Din, dalam dua bulan ke depan gedung bantuan pemerintah pusat itu rampung dan siap dipakai untuk tambahan ruang kelas. Pesantren seluas 20 hektare tersebut dikelilingi bukit dan gunung yang hijau. Yang paling dikenal adalah Gunung Utuk atau Olat Utuk. Karena itu, kompleks pesantren tersebut dinamai Kampus Olat Utuk. Lokasi di daerah pegunungan membuat udara di pesantren itu sangat sejuk. Setelah mengelilingi lokasi proyek, ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu membawa tamunya untuk melihat gedung tiga lantai yang sudah beroperasi tahun lalu. Gedung baru tersebut digunakan untuk proses belajar-mengajar. Begitu pula asramanya, sudah ditempati para santri dan ustad. “Kursi dan meja ini harganya lebih mahal dibanding milik sekolah favorit di Jakarta. Saya sudah survei,” tutur Din di ruang kelas yang tertata rapi. ”Satu unit harganya Rp1,5 juta. Kami siapkan seratus unit meja dan kursi,” tambahnya. Pembelajaran juga memakai peranti modern. Di antaranya, LCD projector. ”Pokoknya, pendidikan di sini kami buat semodern mungkin,” jelas dia. Ketika menyidak asrama santri, para tamu Din dibuat kagum. Selain asrama masih bersih dan rapi, setiap santri mendapatkan satu lemari baru untuk menyimpan buku-buku dan perlengkapan sehari-hari. ”Lemarinya lebih bagus dari (yang ada, red) di Gontor. Ini bagus sekali,” ucap Imam Budiono. Suasana meriah ketika Din bertemu para santri di halaman depan asrama. Para santri yang seluruhnya laki-laki langsung menghampiri Din dan berebut untuk bersalaman. “Ayahanda senang sekali bisa bertemu lagi dengan ananda semua,” tuturnya, menyapa para santri lembaga pendidikan setingkat SMP itu. Din meminta para santri untuk mengenalkan diri satu per satu. Santri asli Sumbawa diminta angkat tangan, begitu juga santri dari Lombok, Mataram, dan daerah lain seperti Jakarta. Ada juga santri dari Timor Leste dan Kamboja. Total, saat ini ada 46 anak yang menjadi santri di PMI Dea Malela. Tiga santri dari Kamboja diminta maju dan mengenalkan diri. Mereka adalah Saburin bin Ma’ad, Mustofa Zali, dan Asyari San. Ketiganya belum bisa berbahasa Indonesia. Mereka datang ke Sumbawa bersama Ustad Abdullah Mahmud yang juga presiden Muhammadiyah Kamboja. Mustofa Zali mengaku langsung betah menuntut ilmu di pesantren itu. Menurut dia, suasana dan fasilitas di pesantren tersebut menyenangkan. ”Saya ingin belajar agama di sini,” terangnya. Ustad Abdullah menyatakan percaya kepada Pesantren Dea Malela dan Din Syamsuddin dalam mengembangkan pendidikan Islam yang modern. Menurut dia, Din mempunyai pengalaman yang banyak di bidang itu. Selain pakar di bidang agama, cendekiawan Islam kelahiran Sumbawa itu mempunyai jaringan yang sangat luas. Sementara itu, Sabtu siang (30/7) datang lagi tamu dari Jakarta. Mereka adalah musisi Dwiki Dharmawan bersama rekannya, Tony Muharam. Keduanya datang ke Pesantren Dea Malela untuk melatih santri menyanyikan himne pesantren. Setelah beberapa saat berbincang dengan pengurus yayasan, Dwiki dan Tony memperkenalkan diri kepada para santri. Latihan nyanyi itu dilakukan untuk persiapan tampil pada acara pelantikan siswa baru PMI Dea Malela esok harinya. Sebelum itu, para santri juga sudah dilatih bermain drama yang berkisah tentang ulama besar Sumbawa Dea Malela. Mereka diarahkan oleh sutradara teater dari Jakarta Adi Pranajaya.  (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: