Kursi di Sekolah Swasta Melompong
Harapan fairness kembali pupus sudah. Pendidikan swasta kembali harus menangis terkena dampak langsung dari tidak konsistennya pihak-pihak tidak bertanggung jawab pelanggar Perwali Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini. Para guru sekolah swasta yang harusnya bisa sedikit tersenyum lebar, akhirnya masam karena siswa yang dinanti tidak kunjung datang. BERBEDA dengan hirup pikuk di sekolah-sekolah negeri yang tengah sibuk menyiapkan rencana anggaran dan pendapatan belanja sekolah (RAPBS), suasana di sekolah swasta sampai hari kemarin masih menunggu murid pendaftar. Kepala SMK Taman Mada Ekonomi Taman Siswa, Drs Sugiarto mengungkapkan kondisi di sekolanya sangat memilukan. “Sampai dengan kemarin, siswa yang mendaftar baru 20 anak. Kelas sekarang blong, kursi pun masih banyak yang kosong,” ujarnya, Selasa (13/7). Sebagian besar dari pendaftar memiliki latar belakang ekonomi di bawah standar. Di sisi lain, Dinas Pendidikan Kota Cirebon memberikan bantuan kepada sekolah berbasis jumlah siswa. Itu artinya dana operasional yang diterima bisa dipastikan lebih sedikit. “Lalu bagaimana dengan biaya operasional lainnya?” ucapnya saat ditemui koran ini di sekolah. Sugiarto mengandaikan jika Perwali PPDB 15/2010 tidak mandul dan tidak sekadar aksesori ceritanya mungkin tidak begini. Sekolah negeri masih tidak bisa dikontrol, tidak lagi konsisten dalam menerima siswa 40 per kelas dengan kuota rombongan belajar (rombel) yang telah diumumkan Disdik sebelum masa PPDB dimulai. Juga akibat banyak cara bisa ditempuh untuk memasukkan siswa ke sekolah negeri, bisa lewat partai, LSM atau yang lainnya. “Sekarang keadaanya sudah seperti ini. Tolong tegakkan, berlakukan sanksi yang ada di Perwali bagi mereka yang melanggar. Kalau tidak, buat apa ada Perwali? Berikan sanksi tegas,” ucapnya pria berkumis ini. Cerita tidak jauh beda juga dialami SMP Inklusi Sada Ibu. Saat ini sekolahnya baru menerima 4 siswa. Kepala SMP Sada Ibu BO Heriyanto SPd menjelaskan hal lain yang mengakibatkan kosongnya kelas sekolah swasta adalah sikap orang tua murid yang negeri minded. Maksudnya memaksakan anak untuk sekolah ke sekolah negeri dengan menghalalkan segara cara. Menabrak aturan, bahkan memaksakan kemampuan anak. “Jangan pernah memaksakan kemampuan anak. Ini soal pendidikan, semuanya harus diawali dengan cara yang terdidik. Terlebih bagi mereka anak yang berkebutuhan khusus,” tukasnya di temui di sekolah. Heriyanto menyampaikan, dengan kondisi 4 siswa 8 guru, praktis biaya operasional kembali menyita perhatian pengelola sekolah. Ungkapan keprihatinan juga dikemukakan Kepala SMA Taman Siswa Drs Supandan. Dia mengkritisi tumpulnya perwali saat dihadapkan dengan penerapan di lapangan. Kemudian perwali hanya melahirkan primordialisme sempit. “Tega kah pemerintah kota melihat kami begini. Di saat sekolah negeri menari-nari dengan banyaknya jenis dana yang diterima, sekolah swasta harus mengemis-ngemis,” tandasnya. Supandan menyebutkan sejumlah jenis dana yang diterima sekolah negeri adalah dana bantuan masyarakat, dana BOS Provinsi, BOS Pusat, BOS Pemerintah Kota. Membuat akhirnya aliran uang begitu berlimpah di sekolah negeri. Kesejahteraan guru sekolah negeri pun semakin mudah jika dikaitkan dengan syarat sertifikasi jam mengajar 24 jam. “Sedang kami sedikit. Bagaimana bisa memenuhi kewajiban jam mengajar? Kami prihatin, tapi kami lemah. Kami hanya bisa berdoa, mudah-mudahan guru-guru di sekolah swasta bisa terus ikhlas mengamalkan ilmunya, mendidik para siswa,” uangkapnya. Dia mempertanyakan peran sejumlah institusi yang menyoroti pendidikan seperti Komisi C DPRD, Dewan Pendidikan, Badan Musyawarah Pendidikan Swasta, juga PGRI. “Perwali hanya aksesori. Kami prihatin, padahal Pak Walinya sendiri juga alumni sekolah swasta,” ucapnya. (suhendrik)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: