Sosialisasi Geothermal Diwarnai Aksi Walk Out, Ini Penyebabnya
KUNINGAN - Acara sosialisasi proyek geothermal di Hotel Horison Tirta Sanita Sangkanurip, Kamis (20/10) siang tadi, cukup menarik perhatian banyak pihak terutama dari kalangan aktivis yang selama ini kerap menggelar aksi menyuarakan penolakan. Bahkan, diskusi sempat memanas saat sesi tanya jawab hingga akhirnya sekelompok massa dari Gempur memilih walkout. Hal ini terjadi pada sesi diskusi ketika sejumlah pertanyaan dan kekhawatiran terkait dampak geothermal disampaikan para peserta sosialisasi kepada narasumber. Beberapa persoalan yang diajukan di antaranya tentang kekhawatiran gempa yang terjadi akibat proyek tersebut, kebutuhan air yang teramat banyak, tanah amblas hingga kemungkinan dampak buruk seperti pada proyek geothermal di Mataloko, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dinilai gagal. Bahkan untuk lebih meyakinkan, mereka meminta pihak panitia memutar video dari youtube hasil liputan salah satu televisi swasta tentang dampak yang dialami warga atas proyek tersebut. Meski sempat mendapat penolakan dari panitia, namun akhirnya Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Yunus Saefulhak membolehkan video tersebut diputar. Dalam video berdurasi 20 menit tersebut, diperlihatkan kondisi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di sana yang kini menyisakan danau lumpur panas dan hilangnya lahan pertanian warga akibat proyek tersebut. Mengenai kemungkinan gempa yang terjadi selama proyek geothermal, dijelaskan oleh pakar geothermal yang juga Ketua Program Magister Eksplorasi Geothermal Universitas Indonesia (UI) Yunus Daud, hal tersebut sangat mungkin terjadi namun masih tergolong gempa mikro dengan getaran di bawah 3 skala richter. Hal ini, menurut dia, merupakan hal yang wajar dan sebenarnya selama ini pun sering terjadi di sekitar kawasan gunung berapi akibat gejala vulkanik. \"Ibaratnya ketika kita merebus air dengan ketel, ketika mendidih terjadi letupan pada tutup ketel akibat tekanan uap. Sama halnya pada proyek geothermal, namun getarannya sangat kecil yaitu di bawah 3 skala richter sehingga gempa tersebut tidak terasa. Perlu diketahui, gempa ini sudah biasa terjadi di sekitar kawasan gunung berapi dan selama ini masyarakat tidak merasakannya,\" ujar Daud. Sedangkan terkait pemenuhan air untuk proses injeksi yang katanya membutuhkan hingga 1 juta liter per hari, dijelaskan Daud, dapat dipenuhi dari air permukaan seperti air sungai atau danau. Oleh karena itu, kata dia, agar proyek geothermal ini bisa berjalan sesuai rencana dan berkelanjutan hingga ribuan tahun, maka diwajibkan bagi pengelolanya untuk merawat dan menjaga lingkungan sekitar agar ketersediaan air permukaan bisa tetap terjaga. Terkait keberadaan proyek geothermal di Matalako, NTT yang dianggap gagal, Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengulas kembali latar belakang proyek tersebut bermula. Dikatakan, proyek geothermal di Matalako yang dilaksanakan tahun 1996 merupakan pilot projek hasil kerjasama antara PT PLN, pemerintah kabupaten setempat dan Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral (GSDM) dengan melibatkan perusahaan Jepang untuk kegiatan ekspolrasinya. \"Namanya juga pilot project atau percobaan, sehingga kemungkinan gagalnya sangat besar, hingga terjadilah hal demikian. Dari hasil evaluasi, ada beberapa kesalahan prosedur dalam proses pengeboran sumur reinjeksi sehingga menyebabkan terjadi luapan lumpur panas tersebut,\" kata Yunus. Berdasarkan riwayat sebelumnya, lanjut Yunus, gejala-gejala luapan uap di lokasi tersebut sudah ada sejak 20 tahun sebelum proyek dilakukan. Persoalannya, pada saat proses pengeboran ternyata dilakukan di dekat luapan uap tadi sehingga belum sempat pengeboran mencapai titik yang direncanakan, ternyata terjadi luapan lumpur panas yang tadinya hanya 1 hektare kini sudah mencapai 5 hektare. \"Pengalaman tersebut menjadi pelajaran berharga kami, dan kini sudah ditemukan teknik pengeboran baru yang dapat menghindari kejadian serupa terulang. Caranya yaitu pengeboran dilakukan dari sudut kemiringan tertentu hingga 1,5 Km dari titik panas, sehingga risiko luapan lumpur seperti di Matalako bisa dihindari,\" kata Yunus. Masih banyak penjelasan para narasumber terkait dampak dari proyek geothermal seperti yang dipertanyaan para peserta sosialisasi. Namun, rupanya jawaban pakar tersebut tidak membuat para peserta sosialisasi terutama dari kelompok Gerakan Massa Pejuang Untuk Rakyat (Gempur) Kuningan merasa puas dan bersikukuh menolak proyek geotermal sehingga memutuskan untuk walkout meninggalkan ruangan sebelum acara sosialisasi selesai. Meski demikian, acara sosialisasi tetap berjalan hingga akhirnya acara ditutup sekitar pukul 16.30 WIB. (taufik)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: